
Warta Global Banten | Surabaya (01/10/2025) - Namanya Sri Fatmawati. Panggilannya Fatma. Dosen Kimia ITS. Prestasinya segudang. Terutama di panggung "women in science".
Kemarin Kamis 25/9 itu, ia berdiri di depan para wakil rektor bidang kerja sama se-Indonesia. Di acara forum wakil rektor kerjasama. FORWAREK di Kampus ITS.
Ia tidak sedang pamer prestasi pribadi. Sama sekali tidak. Ia sedang menyajikan sebuah kegelisahan. Sekaligus sebuah mimpi besar.
Gelisahnya ini: angka.
Coba, katanya, lihat bawang putih. Kita ini impornya sampai USD 766,1 juta. Setahun. Itu sekitar Rp 12 triliun. Duit sebanyak itu terbang ke luar negeri. Terutama ke Tiongkok.
Padahal, kita ini negara agraris. Surga biodiversitas. Dulu, tahun 1995, kita pernah swasembada bawang putih. Kenapa sekarang loyo?
Bu Fatma menunjukkan data lagi. Produktivitas kita cuma 7,35 ton per hektare. Tiongkok? Sudah 24,69 ton per hektare. Jauh sekali.
Itu baru bawang putih. Belum jahe, kunyit, dan herbal lainnya. Potensi pasar herbal global itu bisa tembus USD 200 miliar. Tapi pasar jamu kita tidak ada 10 persennya.
Sebuah tamparan. Keras.
Lalu, Bu Fatma menyajikan mimpinya. Mimpinya punya nama: TSTH2. Kependekan dari Taman Sains Teknologi Herbal & Hortikultura Indonesia.
Letaknya tidak di Jawa. Tapi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Di sana, di tengah perbukitan, sebuah pusat riset canggih dibangun. Di bawah Kementerian Diktisaintek. Ia ditunjuk sebagai Direkturnya.
Apa yang dikerjakan di sana?
Inilah bagian paling serunya. Mereka "mengoprek" DNA tanaman. Pakai ilmu canggih bernama genomik.
"Hasil panen itu 50 persennya ditentukan oleh benih," kata Bu Fatma lewat paparannya.
Maka, TSTH2 tidak mau main-main. Mereka berburu benih terbaik. Dari seluruh nusantara. Sudah terkumpul 460 spesies tanaman herbal dari 514 kabupaten/kota.
Benih-benih itu tidak hanya ditanam. Tapi dibedah. Sampai ke level genetik. Dicari gen-gen juaranya. Gen yang bikin tanaman tahan penyakit. Gen yang bikin panennya melimpah. Gen yang bikin aromanya khas.
Untuk itu, peralatannya pun kelas dunia. Ada mesin-mesin canggih berderet di laboratoriumnya. Mereknya Pacbio Revio, MGI DNBSEQ-T7. Nama-nama yang asing di telinga petani, tapi menjadi kunci masa depan pertanian kita.
Bu Fatma dan timnya sudah punya peta jalannya. Untuk bawang putih, misalnya, ada 8 langkah presisi. Dari koleksi bawang lokal, identifikasi gen unggul, sampai membuat SOP budidaya.

Hasilnya? Bukan lagi mimpi.
Sudah ada produk-produk inovasi yang lahir dari sana. Ada parfum dari kemenyan. Ada teh dari bunga telang. Ada herbal penurun gula darah dan peningkat daya tahan tubuh yang sudah terdaftar di BPOM.
Artinya, risetnya tidak berhenti di jurnal ilmiah. Tapi sampai ke pasar. Sampai ke tangan konsumen.
Maka, di depan para wakil rektor itu, Bu Fatma tidak hanya bercerita. Ia mengajak. Mengajak "mengeroyok" masalah ini bersama-sama.
Lewat program "FORWAREK - TSTH2"
Ayo, katanya, kita kembangkan benih unggul ini bersama. Ayo kita lakukan riset konsorsium antar-universitas. Ayo kita bangun industrinya, kita berdayakan petaninya, dan kita bawa produk ini ke panggung dunia.
Sebuah tawaran yang sulit ditolak.
Bu Fatmawati sudah membukakan jalan. Lewat TSTH2, ia menunjukkan bahwa Indonesia punya kapasitas. Punya otak. Punya teknologi. Untuk tidak lagi sekadar menjadi pasar. Tapi menjadi pemain utama.
Seperti kata penutup di presentasinya: riset tidak boleh berhenti di laboratorium. Ia harus hadir di ladang, di puskesmas, dan di meja makan rakyat Indonesia.
Perempuan ini tidak sedang menjual kecap. Ia sedang menyajikan masa depan. Dan masa depan itu, ternyata, bisa dimulai dari sebuah genomik bawang putih, herbal, hingga kemenyan. AM