Di Balik Angka Pertumbuhan: Negara, Kapital, dan Ketimpangan Abdul Hakim  Pengajar Studi Perbandingan Politik  STISNU Kota Tangerang - Warta Global Banten

Mobile Menu

Top Ads

Serang

More News

logoblog

Di Balik Angka Pertumbuhan: Negara, Kapital, dan Ketimpangan Abdul Hakim  Pengajar Studi Perbandingan Politik  STISNU Kota Tangerang

Monday, 15 December 2025
Tanggerang, WartaGlobal.Id -Ada satu paradoks yang terus menghantui ekonomi negara berkembang kaya sumber daya: semakin besar peran negara, semakin sempit transformasi struktural yang terjadi. Negara hadir di mana-mana, dalam proyek, subsidi, regulasi, dan narasi, namun struktur produksi tetap dangkal, produktivitas stagnan, dan ketimpangan mengeras. 

Percakapan antara Purbaya Sadewa dan Gita Wirjawan dalam Endgame #245 dapat dibaca sebagai kritik teknokratis terhadap paradoks ini. Namun jika ditarik lebih jauh, ia juga membuka pintu pada kritik ekonomi politik yang lebih radikal: bahwa masalah utama bukan sekadar kebijakan yang tidak efisien, melainkan koalisi antara negara, kapital ekstraktif, dan oligarki, yang secara sistemik mereproduksi ketimpangan.

Dalam pembacaan neo-Marxis, terutama ala David Harvey, ekonomi semacam ini bukan kegagalan kebijakan, melainkan modus akumulasi. Negara tidak sekadar salah memilih proyek; ia secara aktif menciptakan kondisi bagi apa yang Harvey sebut 'accumulation by dispossession'; akumulasi kapital melalui perampasan ruang, sumber daya, dan hak sosial. 

ICOR Tinggi dan Rasionalitas Oligarki

Purbaya mungkin tidak menggunakan bahasa ini, tetapi ketika ia menekankan rendahnya produktivitas marginal dan tingginya ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Dalam ekonomi, ICOR digunakan untuk mengukur efisiensi investasi, yaitu berapa besar tambahan modal (investasi) yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan output (PDB). Dalam konteks ini, kritik Purbaya ditujukan sesungguhnya pada gejala ekonomi yang lebih dalam: kapitalisme ekstraktif yang membutuhkan negara untuk tetap berjalan.

Dalam kerangka teknokratis, ICOR yang tinggi dibaca sebagai inefisiensi investasi. Namun dalam kerangka Harvey dan Piketty, ICOR tinggi justru bisa dibaca sebagai rasionalitas politik. Investasi tidak diarahkan untuk memaksimalkan output sosial, tetapi untuk mengamankan aliran rente. Proyek besar dengan dampak produktivitas rendah, yaitu jalan logistik komoditas, pembangkit listrik berlebih, kawasan industri yang tidak terhubung dengan rantai nilai, tetap dibangun karena ia menguntungkan aktor tertentu: kontraktor besar, pemilik konsesi, dan elite politik yang menjadi perantara.

Purbaya berbicara tentang alokasi modal yang buruk. Harvey akan menambahkan: alokasi itu buruk bagi masyarakat, tetapi sangat efisien bagi oligarki. Inilah perbedaan antara kegagalan ekonomi dan keberhasilan politik. Ekonomi ekstraktif tidak runtuh karena ia tidak efisien; ia bertahan justru karena ia menciptakan koalisi kekuasaan yang stabil.

Purbaya memandang negara sebagai arsitek sistem yang seharusnya menciptakan insentif produktif. Namun dalam realitas ekonomi politik, negara sering kali bertindak sebagai agen akumulasi kapital, bukan sebagai wasit netral. David Harvey menunjukkan bahwa negara modern berperan penting dalam membuka ruang baru bagi kapital, yaitu melalui privatisasi, deregulasi selektif, pembangunan infrastruktur, dan pembiayaan publik, terutama ketika kapital swasta menghadapi krisis profitabilitas.

Ekonomi sumber daya adalah contoh klasik. Ketika produktivitas industri manufaktur rendah dan inovasi terbatas, negara menawarkan “solusi cepat”: ekstraksi. Alam menjadi spatial fix: ruang baru untuk menyerap surplus kapital. Jalan dibangun bukan untuk mobilitas sosial, tetapi untuk memindahkan komoditas. Listrik disediakan bukan untuk industri bernilai tambah tinggi, tetapi untuk menopang operasi ekstraktif. 

Dalam konteks ini, kritik Purbaya terhadap fetisisme infrastruktur sebenarnya menyentuh inti masalah: infrastruktur sebagai alat akumulasi, bukan transformasi.

Namun ekonomi ekstraktif tidak bisa bertahan hanya dengan represi atau teknokrasi. Ia membutuhkan legitimasi. Di sinilah populisme masuk. Negara membagi sebagian kecil hasil ekstraksi melalui subsidi, bantuan sosial, dan proyek simbolik. Purbaya melihat ini sebagai kebijakan jangka pendek yang mengorbankan konsistensi. Dalam bahasa Piketty, ini adalah redistribusi minimal untuk menjaga stabilitas sistem ketimpangan.

Piketty menunjukkan bahwa ketimpangan tidak pernah bertahan tanpa ideologi pembenarnya. Populisme ekonomi menyediakan ideologi itu: narasi bahwa negara “hadir”, bahwa pertumbuhan “inklusif”, bahwa pembangunan “berpihak”. Namun di baliknya, struktur kepemilikan tidak berubah. Kekayaan tetap terkonsentrasi. Akses terhadap modal, lahan, dan teknologi tetap terbatas pada kelompok yang sama.

Dalam konteks ini, kritik Purbaya terhadap pendidikan menjadi sangat politis. Negara membiayai pendidikan tinggi, tetapi tidak membangun struktur ekonomi yang menyerap pengetahuan. Hasilnya adalah apa yang Piketty sebut sebagai frustrated meritocracy, yaitu kelas terdidik yang mobilitasnya terbatas, sementara kekayaan diwariskan melalui kepemilikan aset, bukan kompetensi.

ICOR tinggi bukan sekadar indikator teknis; ia adalah gejala distribusi kekuasaan ekonomi. Dalam ekonomi dengan konsentrasi kapital tinggi, investasi cenderung mengalir ke sektor yang aman secara politik, bukan produktif secara sosial. Proyek besar dipilih karena mudah dikapitalisasi, mudah dipolitisasi, dan mudah diekstraksi nilainya. Inovasi, yang berisiko dan membutuhkan institusi kuat, ditinggalkan.

Purbaya menyebut rendahnya produktivitas marginal. Harvey akan mengatakan: produktivitas bukan tujuan utama sistem ini. Tujuannya adalah kontrol atas aliran nilai. Selama kapital bisa terus berputar—melalui kontrak, konsesi, dan utang—efisiensi menjadi isu sekunder. Negara lalu menutupi masalah ini dengan belanja fiskal dan utang publik, yang pada gilirannya menciptakan krisis berikutnya.

Demokrasi Tanpa Redistribusi

Desentralisasi ekonomi, yang oleh Purbaya dikritik karena lemahnya insentif dan kapasitas daerah, dalam perspektif neo-Marxis dapat dibaca sebagai fragmentasi akumulasi. Oligarki nasional bereplikasi di tingkat lokal. Pemerintah daerah menjadi broker sumber daya: izin tambang, lahan, dan proyek. Transfer fiskal memperluas arena ekstraksi, bukan demokratisasi ekonomi.

Harvey menyebut ini sebagai 'scalar politics', kapital menyesuaikan skala operasinya untuk mempertahankan akumulasi. Ketika pusat jenuh atau tertekan, daerah menjadi frontier baru. Negara, alih-alih mengoreksi ketimpangan, justru memfasilitasi ekspansinya ke skala yang lebih kecil.

Purbaya menyinggung paradoks pajak: negara ingin penerimaan tinggi dari struktur ekonomi yang sempit. Piketty akan menambahkan bahwa sistem pajak di ekonomi oligarkis cenderung regresif secara de facto. Sektor ekstraktif mendapatkan insentif, pembebasan, atau kemampuan menghindari pajak, sementara beban jatuh pada konsumsi dan tenaga kerja.

Dalam kerangka ini, pajak bukan alat redistribusi, melainkan alat stabilisasi rezim ketimpangan. Negara memungut cukup untuk membiayai legitimasi sosial, tetapi tidak cukup untuk mengganggu akumulasi kekayaan di puncak. Kritik Purbaya terhadap reformasi pajak tanpa reformasi struktur ekonomi menjadi sangat relevan di sini.

Purbaya berhati-hati ketika membahas demokrasi. Namun pembacaan neo-Marxis lebih tajam: demokrasi elektoral dalam ekonomi ekstraktif sering berfungsi sebagai mekanisme rotasi elite, bukan transformasi struktural. Pemilu menentukan siapa yang mengelola aliran rente, bukan siapa yang mengubah arah ekonomi.

Populisme memperhalus ketegangan ini. Ia menjanjikan partisipasi, tetapi menghindari redistribusi kepemilikan. Dalam istilah Piketty, demokrasi kehilangan kapasitasnya sebagai alat koreksi ketimpangan, dan berubah menjadi ritual legitimasi.

Proyek besar seperti kereta cepat berfungsi sebagai simbol modernitas dalam ekonomi ekstraktif. Harvey akan menyebutnya spectacular infrastructure: proyek yang menciptakan citra kemajuan sambil menyerap surplus kapital. Manfaat produktifnya sering terbatas, tetapi nilai simboliknya besar. Purbaya mengkritiknya secara implisit dengan pertanyaan sederhana tentang produktivitas. Dalam kerangka neo-Marxis, pertanyaan itu lebih tajam: siapa yang diuntungkan, dan siapa yang membayar?

Menariknya, kritik Purbaya yang berakar pada liberalisme pragmatis ala Milton Friedman bertemu dengan kritik neo-Marxis pada satu titik: penolakan terhadap konsentrasi kekuasaan ekonomi. Friedman menolaknya atas nama efisiensi dan kebebasan pasar. Harvey dan Piketty menolaknya atas nama keadilan dan demokrasi ekonomi. Jalurnya berbeda, tetapi diagnosis terhadap oligarki sering kali beririsan.

Purbaya ingin disiplin insentif. Neo-Marxis ingin perubahan struktur kepemilikan. Keduanya sepakat bahwa ekonomi ekstraktif-oligarkis adalah jalan buntu.

Percakapan Purbaya Sadewa dan Gita Wirjawan, jika dibaca melalui Harvey dan Piketty, bukan sekadar diskusi teknokratis. Ia adalah potret ekonomi politik yang terjebak dalam siklus ekstraksi, legitimasi populis, dan reproduksi oligarki. ICOR tinggi, produktivitas rendah, dan ketimpangan bukan kecelakaan; mereka adalah hasil logis dari sistem yang bekerja sebagaimana dirancang.

Pertanyaannya bukan lagi apakah model ini efisien, tetapi berapa lama ia bisa bertahan sebelum biaya sosial dan ekologisnya melampaui kapasitas legitimasi politiknya. Di titik itu, seperti sering diingatkan Harvey, krisis bukan penyimpangan, melainkan koreksi sistemik. Dan seperti Piketty tunjukkan, tanpa keberanian menyentuh struktur kepemilikan dan distribusi kekayaan, setiap reformasi kebijakan hanya akan menjadi perbaikan kosmetik. 

Negara boleh terus hadir. Anggaran boleh terus membesar. Proyek boleh terus dibangun. Tetapi selama ekonomi tetap berputar di sekitar ekstraksi dan oligarki, pertumbuhan akan selalu mahal, rapuh, dan timpang. Itulah kritik terdalam yang tersirat dalam percakapan ini: bukan sekadar bahwa kebijakan kita kurang konsisten, tetapi bahwa model ekonomi kita sendiri telah terlalu lama kebal terhadap koreksi.