Belajar dari Tsunami Palu dan Prediksi Megathrust Selatan Pulau Jawa - Warta Global Banten

Mobile Menu

Top Ads

Serang

More News

logoblog

Belajar dari Tsunami Palu dan Prediksi Megathrust Selatan Pulau Jawa

Tuesday, 29 July 2025
Foto Megathrust Ilustrasi

Warta Global Banten | Serang (29/06/2025) - Meski hanya prediksi, mungkin ada baik perlunya ikhtiar atau mempersiap antisipasikan diri, keluarga dan kerabat. Sebab sejumlah zona megathrust mengelilingi sisi selatan Pulau Jawa, diprediksi dapat menghasilkan gempa besar dan berpotensi memicu terjadinya tsunami.

Meski belum ada yang mengetahui pasti kapan terjadinya, namun berdasarkan penelitian, bencana alam dahsyat tersebut akan segera datang. 

Belajar dari gempa Palu, Sulawesi Tengah yang mengakibatkan tsunami dan bencana alam ekstrim lainnya, sudah diprediksi setahun sebelum perisitiwa terjadi. Hal itu ditulis langsung oleh Abdee Mari, namun yang didapatkan tak sedikit bulli. Sama persis dengan peringatan megathrust, tak sedikit yg gk percaya. 

Masih terekam jelas di ingatan saya, tahun 2017. Kala itu, Poso, Sulawesi Tengah, baru saja diguncang gempa magnitudo 6,6. Pusatnya di daratan, menghancurkan puluhan bangunan, Senin malam 29 Mei. 

Sumbernya? Diduga Sesar Palolo Graben, sekitar 40 kilometer barat laut Kota Poso. Saya, kala itu seorang jurnalis, berusaha keras memberitakan bukan hanya dampak gempa saat itu, tapi juga sebuah peringatan yang jauh lebih besar dari para ilmuwan.

Saya menulis, mengutip penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwa Sulawesi menyimpan potensi gempa raksasa. Para geolog bahkan menyebut Pulau Sulawesi sebagai keunikan bentang alam yang tersembunyi. 

Percaya atau tidak, fakta ilmiah menyatakan bahwa proses geologi yang rumit selama puluhan juta tahun telah membentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf 'K'. Bayangkan, puluhan juta tahun silam, Sulawesi hanyalah berupa empat pulau mengapung, yang kemudian bergerak perlahan, sentimeter per tahun, disatukan oleh tarian tiga lempeng besar: Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, ditambah dorongan dari Lempeng Filipina yang lebih kecil.

Kerumitan proses tektonik inilah yang akhirnya melahirkan sesar-sesar yang merobek dan melintang di seluruh tubuh Sulawesi. Ilmu geologi modern mengidentifikasi setidaknya ada 9 sesar terbesar yang "mengepung" Sulawesi dengan ancaman gempa: Sesar Palu Koro, Sesar Poso, Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Walanae, Sesar Gorontalo, Sesar Batui, Sesar Tolo, dan Sesar Makassar.

Seorang ahli Geologi dari LIPI, Danny Hilman, pernah menyampaikan di laman resmi LIPI kekhawatirannya. "Sesar Palu Koro dan Sesar Matano menyimpan energi guncangan gempa yang besar. Rambatan gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano sudah berada di level tertinggi. Setara dengan akselerasi gravitasi 0,6 G. Kalau sudah 0,6 G levelnya sudah sangat parah,” kata Danny.

Sebagai seorang yang mencoba menyampaikan kebenaran ilmiah, saya merasa berkewajiban untuk meneruskan peringatan itu. Namun, sayang sekali, berita yang saya buat itu justru menuai cibiran, bahkan bully-an dari banyak orang. "Siapa kau? Tuhan?" kata mereka, menyudutkan. Seolah kami, para jurnalis dan ilmuwan, berlagak tahu segalanya, menantang takdir. Sakit hati rasanya, karena niat kami baik: agar masyarakat berjaga-jaga.

Namun, akhirnya, takdir berbicara. Setahun kemudian, di tahun 2018, bencana besar itu benar-benar terjadi. Gempa dahsyat yang kemudian memicu tsunami dan likuefaksi melanda Palu dan sekitarnya. Ribuan nyawa melayang, kota porak-poranda. Itu adalah pelajaran paling pahit dan memilukan dalam karier jurnalistik saya.

Dari pengalaman itu, saya semakin meyakini satu hal: kita memang harus percaya kepada takdir Tuhan. Kehendak-Nya adalah mutlak. Tapi, tidak ada salahnya juga kita percaya kepada ilmuwan dan sains. Mereka adalah jembatan yang Tuhan berikan kepada manusia untuk memahami alam, untuk membaca tanda-tanda, agar kita bisa berjaga-jaga. 

Penting diketahui, Pulau Jawa dan beberapa pulau di Indonesia memang tak jarang diguncang gempa. Namun Gempa bumi Jawa 1780 yang terjadi pada 22 Januari 1780 adalah peristiwa gempa bumi terbesar yang pernah melanda Pulau Jawa saat masa pendudukan Hindia Belanda. 

Magnitudo gempa diperkirakan mencapai sebesar 8.5 Mw sementara sumber lain mengatakan dengan kisaran 7.5 hingga 8.0 Mw dengan episentrum berpusat di wilayah Selat Sunda lepas pantai Samudra Hindia.

Gempa tersebut terjadi di Selat Sunda segmen Selatan Jawa, besarnya ditetapkan sebagai 8.5. Getaran gempa dirasakan sangat kuat dari provinsi Bengkulu hingga Jawa Barat, di Batavia (Jakarta) gempa dirasakan begitu hebat, dan banyak bangunan kolonial roboh. Di Buitenzorg (Bogor) banyak terjadi tanah longsor terutama di kawasan Gunung Salak.

Karena kurangnya catatan sejarah, sumber dan besaran gempa masih menjadi perdebatan pada kalangan seismologi. Asal muasal gempa yang diusulkan termasuk busur belakang dangkal yang mendorong sepanjang patahan yang terletak di kerak atas pulau atau pecahnya zona subduksi di lepas pantai selatan pulau Jawa.

Ya, takdir tidak berarti pasrah tanpa ikhtiar. Justru, ikhtiar melalui pengetahuan adalah salah satu bentuk ketaatan kita pada takdir itu sendiri. Semoga pengalaman ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu siap sedia. (Mardi Golindra)