“Bahasa Dewa” di KUA APBD 2026, Anggota DPRD Cilegon Rahmatulloh: Janji Manis TAPD Tanpa Hasil Nyata - Warta Global Banten

Mobile Menu

Top Ads

Serang

More News

logoblog

“Bahasa Dewa” di KUA APBD 2026, Anggota DPRD Cilegon Rahmatulloh: Janji Manis TAPD Tanpa Hasil Nyata

Tuesday, 9 September 2025



Warta Global Banten | Cilegon- Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Cilegon, Rahmatulloh, melontarkan kritik keras terhadap dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) APBD 2026. Ia menilai Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) hanya mengulang diksi normatif yang ia sebut sebagai “bahasa dewa” tanpa menghadirkan lompatan nyata dalam peningkatan pendapatan daerah.

“Bahasa yang selalu muncul misalnya efisiensi pemungutan, identifikasi PAD baru, modernisasi sistem digital, hingga edukasi wajib pajak. Itu terus diulang sejak 2021, tanpa hasil signifikan,” ujar Rahmatulloh, Senin (8/9/2025).

Menurutnya, pola TAPD yang stagnan justru membuat arah kebijakan pendapatan semakin kabur. Ia bahkan memperingatkan potensi defisit besar pada APBD 2025 akibat lemahnya pengelolaan pendapatan.

Lebih jauh, Rahmatulloh menyoroti kebijakan penguatan tata kelola aset daerah yang disebut sebagai prioritas TAPD, namun tidak didukung alokasi anggaran yang jelas. “Antara jargon kebijakan dan implementasi masih jauh panggang dari api. Penguatan tata kelola aset tidak terlaksana di lapangan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung diksi normatif lain dalam KUA 2026, seperti “peningkatan mutu penganggaran berbasis kinerja” dan “efektivitas belanja pemerintah daerah”. Menurut Rahmatulloh, kenyataan justru berbanding terbalik.

“Temuan BPK masih tinggi, sementara Inspektorat seharusnya bertindak sebagai benteng awal pencegahan kebocoran anggaran,” ungkapnya.

Rahmatulloh memang mengapresiasi belanja mandatory, meski ia menilai terdapat penyimpangan pada beberapa sektor. Ia memperingatkan TAPD agar tidak menjadikan alokasi hibah sebagai korban pergeseran anggaran untuk menutup kebutuhan wajib.

“Pengalihan anggaran hibah bisa mengorbankan program prioritas daerah, termasuk honor guru madrasah yang seharusnya tetap dijaga,” ujarnya.

Selain itu, ia menilai metode penentuan pagu berbasis tren yang diterapkan TAPD justru membatasi ruang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Akibatnya, OPD kesulitan menjalankan program prioritas sesuai dengan arah RPJMD.

“Metode pagu tren harus ditinjau ulang agar OPD bisa berinovasi mencapai target pembangunan, bukan sekadar mengikuti angka-angka tanpa arah,” tutup Rahmatulloh.