
Banten — Di balik predikat mulia sebagai pengabdi ilmu pengetahuan, realitas yang dihadapi dosen honorer di perguruan tinggi swasta (PTS) Indonesia jauh dari kata layak. Banyak dosen yang bekerja keras setiap hari, mengajar, menyiapkan materi, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa, namun penghasilan yang mereka terima seringkali jauh di bawah standar kebutuhan hidup dasar.
Berdasarkan catatan di sejumlah PTS, tidak ada tarif baku nasional untuk honor dosen honorer — besaran honor sangat bervariasi antar kampus. Bahkan, dalam sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terungkap bahwa seorang dosen di Jawa Timur hanya menerima Rp50.000 per satu tatap muka kuliah, ditambah Rp15.000 uang transport, jumlah yang jelas jauh di bawah upah minimum regional.
Kondisi serupa juga terjadi di Provinsi Banten. Di salah satu kampus swasta di Kota Serang, dosen honorer berstatus tetap dilaporkan hanya menerima honor sekitar Rp60.000 per satu tatap muka kuliah. Nilai tersebut belum mencerminkan beban kerja dosen yang tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga diwajibkan menyusun RPS, menilai tugas dan ujian, membimbing mahasiswa, serta menjalankan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi lainnya.
Sementara itu, data anggaran salah satu kampus vokasi pemerintah di Tangerang (Banten) menunjukkan bahwa honor untuk dosen tetap maupun tidak tetap hanya sekitar Rp80.000 per SKS. Artinya, di banyak PTS honor dosen seringkali hanya berada di kisaran puluhan ribu rupiah per satuan kredit semester yang diajarkan, bahkan untuk dosen dengan pengalaman dan masa kerja bertahun-tahun. (Data internal kampus disampaikan sumber)
Menurut berbagai survei dan laporan media, honor dosen honorer sering kali berada jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), meskipun beban kerja mereka tidak kalah dengan dosen ASN — mulai dari penyusunan bahan ajar, penilaian akademik, bimbingan skripsi, hingga kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Sejumlah situs pendidikan menyebut kisaran honor dosen honorer di PTS memang ada yang mencapai Rp175.000 hingga Rp450.000 per SKS, tergantung jabatan fungsional dan jenjang mata kuliah. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa angka tersebut belum merata dan tidak mencerminkan kondisi sebagian besar dosen honorer di kampus-kampus swasta kecil dan menengah.
Potongan Gaji dan Ketidakpastian
Selain honor yang rendah, banyak dosen tetap honorer dengan kualifikasi S1 maupun S2 mengeluhkan banyaknya potongan gaji yang tidak dijelaskan secara transparan. Akibatnya, pendapatan bersih yang diterima jauh lebih kecil dari nominal awal. Kondisi ini semakin ironis ketika Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai kampus swasta terus meningkat, namun kesejahteraan dosen justru terabaikan.
Reaksi Akademisi dan Pemerhati Pendidikan
Para akademisi dan pemerhati pendidikan menilai situasi ini mencerminkan ketidakadilan struktural dalam sistem pengelolaan sumber daya manusia di perguruan tinggi. Mereka menegaskan perlunya standar minimum honor dosen honorer yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan beban kerja serta peraturan ketenagakerjaan.
Beberapa pengamat bahkan mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi agar sistem penggajian dosen swasta tidak sepenuhnya diserahkan pada kebijakan internal yayasan, melainkan memiliki payung hukum yang menjamin hak dasar tenaga pendidik, termasuk prinsip bahwa gaji tidak boleh berada di bawah upah minimum wilayah.
Dampak pada Dunia Pendidikan
Rendahnya gaji dosen honorer berdampak langsung pada kualitas pendidikan tinggi. Banyak dosen terpaksa mengambil pekerjaan sampingan di luar kampus demi memenuhi kebutuhan hidup, yang pada akhirnya mengurangi fokus dan energi mereka dalam menjalankan tugas akademik. Tekanan psikologis, kelelahan, dan ketidakpastian masa depan pun menjadi beban tambahan yang harus ditanggung.
Aktivis pendidikan menilai, tanpa perubahan signifikan dalam sistem pengupahan dosen honorer swasta, kualitas pengajaran dan riset di perguruan tinggi Indonesia berpotensi menurun, di tengah tuntutan global terhadap mutu pendidikan yang semakin tinggi.

