Namanya Tidak Ada Dalam DCT - Warta Global Banten

Mobile Menu

Top Ads

Serang

More News

logoblog

Namanya Tidak Ada Dalam DCT

Sunday, 3 March 2024
Ia seorang kepala suku yang terbiasa dengan kehidupan keras bahkan sadis. Tempat tinggalnya di sebuah perkampungan di hamparan gurun pasir di Jazirah Arabia. Nyaris tidak ada bangsa Arab yang tidak mengenal kampung tersebut karena keunikannya. Yakni suku yang memiliki watak agresi dan terbiasa dengan aksi teror. Karena itu tak heran jika kampung tersebut pendapatan asli daerahnya adalah hasil penjarahan dan perampokan. 

Kampung itu bernama Ghifar. Nama pemimpinnya bernama Jundub bin Junadah. Setelah ia memeluk Islam ia lebih dikenal dengan nama Abu Dzar. Karena ia berasal dari kampung Ghifar maka nama belakangnya dinisbatkan pada asal kampungnya tersebut sehingga ia kemudian lebih akrab disapa dengan nama Abu Dzar Al-Ghifari. 

Ajaran Islam memang luar biasa dahsyatnya. Seperti udara siapapun yang menghirupnya akan merasakan sesuatu yang berbeda dikarenakan muatan ajarannya adalah fitrah. Pesona ajarannya mampu menaklukkan jenis hati manapun keadaannya. Mulai dari yang berkategori super baik hingga super jahat. Apatalagi jika memang ia adalah seorang pencari kebenaran sejati pasti akan mendapatkannya betapapun kisah perjalanannya sangat berkelok dan terasa fantastik. 

Penduduk Jazirah Arab dibawah pimpinan Rasulullahﷺ tatkala mulai memasuki tahap established maka pengelolaan negara pun memasuki era penanaman pondasi nilai yang akan menjadi pijakan dan rujukan bagi keberlanjutan pengelolaan negara versi ajaran Islam di masa-masa yang akan datang hingga hari kiamat. Termasuk diantaranya soal pendistribusian sumber daya manusia yang akan menduduki kursi² kepemimpinan di sejumlah wilayah yang telah dibebaskan oleh pemerintahan Islam waktu itu. 

Maka para sahabat pun kemudian ada yang ditempatkan menjadi kepala pemerintahan atau tugas kenegaraan lainnya sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya di beberapa tempat dalam rangka melakukan pelayanan terhadap segenap kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 

Namun diantara sahabat itu ada pula yang merasa punya kepedulian tinggi sekaligus memiliki kelebihan istimewa dan sekarang lagi sedang menunggu-nunggu tapi tidak juga mendapatkan undangan dari Rasulullah ﷺ. 

Betapa tidak, ia adalah tokoh masyarakat terpandang, punya pengalaman kepemimpinan yang panjang dan seterusnya. Berharap dengan semua itu ia bisa melakukan tugas-tugas kenegaraan dengan sangat baik dan amanah sesuai SOP dari Rasulullah ﷺ . Dialah Abu Dzar Al Ghifari. 

Dengan modal itulah kemudian Abu Dzar mencoba membuat surat lamaran atau proposal kepada Rasulullah ﷺ . Dalam bahasa kiita sekarang Abu Dzar ingin “maccaleg. Seorang Abu Dzar yang begitu dekat dengan Rasulullah ﷺ sudah pasti bukan “kader dakwah kaleng-kaleng”. Beliau memiliki kontribusi besar dalam pengembangan dakwah Islam terutama fase awal dakwah Rasulullah ﷺ. 

Setiap amanah atau pekerjaan tertentu sudah pasti punya pemangkunya sendiri-sendiri. Tidak ada manusia yang bisa melaksanakan seluruh unit pekerjaan dengan tingkat optimalisasi yang sama. Setiap orang pasti punya core-competence alias keahlian masing-masing yang berbeda-beda atau dalam bahasa ibadahnya setiap orang punya amal unggulan. 

Ternyata permohonan Abu Dzar tersebut ditolak oleh Rasulullah ﷺ. Nama Abu Dzar tak ada dalam DCT. Bahkan Rasulullah ﷺ langsung menyampaikan sesuatu yang cukup menohok dan telak yang ditujukan kepada pribadinya, “Wahai Abu Dzar anda ini ini orangnya lemah”. Pernyataan itu tentu saja bisa berakibat panjang sekiranya orang yang dimaksud itu adalah orang yang baperan. Untungnya Abu Dzar adalah seorang kader dakwah sejati.  

Sebuah pelajaran berharga dalam hal seleksi kepemimpinan yang kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab RA. Ketika Umar hendak memilih penggantinya maka ia pun melakukan screening kepada para calon penggantinya dengan bahasa mirip Rasulullah ﷺ. dengan maksud bahwa jika orang di hadapannya itu memiliki mental dan pemahaman yang kuat ia pasti tak terpengaruh (tidak baper) dengan ungkapan-ungkapan yang melemahkan dan memojokkan dirinya tersebut. Sebab jauh lebih keras persoalannya nanti ketika kelak ia menjabat dan mengrusi aneka ragam persoalan negara yang rumit dan membutuhkan ketahanan jiwa, mental dan keyakinan yang kuat dalam mengelola amanah rakyat tersebut. 

Abu Dzar bukan lemah fisik, rendah tingkat intelektualnya, atau bukan pula orang yang lemah pengaruhnya dan tidak punya keluarga besar. Mana mungkin ia seorang pemimpin suku mantan panglima tertinggi kaum begal itu bisa dikatakan sebagai Abu Dzar sebagai “Caleg pagganna-ganna". Dan ketika masuk Islam pun ia berhasil meng’Islamkan seluruh kaumnya, sungguh luar biasa. 

Tapi sungguh apa yang terjadi, penolakan Rasulullah ﷺ itu tidak sama sekali membuat Abu Dzar melakukan somasi, protes atau pembelaan diri. Tidak lantas merasa jumawa, sok'ta, membanggakan diri dan menyebut-nyebut sejumlah besar kontribusi perjuangannya di hadapan Rasulullah ﷺ. Tidak sama sekali ! Sikap Abu Dzar tak terpengaruh dengan sama sekali dengan keputusan yang diambil oleh Rasulullah ﷺ. Sebab ia yakin bahwa apa yang diputudkan oleh pimpinan pasti sudah melalui mekanisme (syuro) apalagi Rasulullah ﷺ tentu tidak sendirian, terus berada di bawah bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT. 

Begitulah namanya orang yang sudah mendalam kadar pemahamannya dalam dakwah. Tidak banyak menuntut tetapi selalu bertanya kepada dirinya potensi apatalagi yang harus aku sumbangsihkan untuk dakwah dan agama ini melalui mekanisme organisasi ini. 

Pelajaran lain dari kasus ini adalah bahwa anda boleh berislam dengan sesempurna mungkin yang ada sanggupi, tetapi keislaman anda belum mendatangkan manfaat maksimal bahkan masih terancam kerugian bagi diri anda, bagi keluarga anda dan masyarakat anda karena anda tidak membangun sebuah pertahanan bersama dengan orang lain. Allah SWT menyuruh kita melakukan aktivitas tawasaw bil haq setelah perintah beriman dan beramal shaleh (Surah Al Ashri). 

Bekerjasama dengan orang lain dalam bingkai “tawasaw bil haq” sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang yang anda temani dalam bekerjasama itu adalah orang-orang pilihan bukan tipikal orang-orang outsourcing yang bisa datang dan pergi kapan saja setelah kepentingan pribadinya selesai. Bukan pula asal ngumpul tanpa ada agenda tetapi mereka yang tergabung dalam aktivitas “tawasaw bil haq” tersebut adalah orang-orang yang terbina secara kontinyu dan terus menjaga keberadaan dirinya agar ia bisa berpartisipasi efektif dan dewasa dalam ruang organisasi itu. 

Kita tidak mungkin mengerjakan seluruh pekerjaan dakwah ini alias melaksanakan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar ini dengan sendirian atau hanya bersama segelintir orang. Anda harus berhimpun bersama sebanyak mungkin orang-orang baik yang punya dedikasi dan komitmen. Sebab di seberang sana ada juga kumpulan orang-orang besar yang punya komitmen tinggi meskipun itu dalam rangka untuk mendurhakai Allah SWT. 

Dan kita perlu juga tahu bahwa dalam bekerja sama berkolaborasi dalam sebuah organisasi tidak mungkin pendapat kita lah yang satu-satunya yang selalu harus diikuti. Bahkan menduduki posisi dan jabatan serta amanah tertentu pun bukan atas kehendak hati dan selera kita. 

Dalam organisasi manapun yang establish, mapan, kokoh dan produktif dan progresif selalu ditandai dengan adanya mekanisme yang selalu dijunjung tinggi dan sangat dihormati oleh para anggota bahkan disakralkan sehingga siap membelanya sampai kapanpun untuk melawan setiap oknum-oknum tertentu yang kadang ingin membeli dengan harga murah mekanisme itu. 

Karena itu berorganisasi apapun dengan ruh dakwah berarti kita bekerjasama dengan orang-orang baik (tawasaw bil haq) . Namun perlu disadari bahwa menjadi orang baik (shaleh) dan empati saja dalam sebuah kumpulan atau organisasi tidaklah cukup tetapi masih ada tuntutan yang lebih besar daripada sekedar itu yaitu mempersiapkan diri menjadi orang-orang yang sanggup bersabar dalam waktu yang lama (tawasw bis shabr) 

Itulah sebabnya Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya dalam surat Al Kahfi ayat 28 : 

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا

Artinya: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

Jelas sekali dalam ayat diatas bahwa untuk mencapai puncak kinerja dan performa terbaik organisasi dakwah persyaratanya cuma satu yaitu sabar. Sabar yang produktif yaitu pertama sabar untuk terus berbuat baik walau tanpa atau minim apresiasi manusia. 

Kedua, sabar untuk tidak melakukan keburukan walau sanggup melakukannya baik secara terang-terangan maupun saat merasa tidak dipantau mata manusia.

Ketiga, sabar atas segenap ketentuan yang diputuskan oleh kepemimpinan kolektif (syuro) dalam bentuk sikap ridha (lapang dada), steril dari buruk sangka karena memang hatinya sudah dihiasi dengan rasa tawakkal yang tinggi kepada Allah SWT. 

Abu Dzar Al-Ghifari mantan pimpinan preman yang organisasinya yang hampir menyerupai sebuah negara mini. Sebab di zaman itu keberadaan atau pemerintahan sebuah suku tidak dalam pengendalian atau subordinasi dari suku lain menjadi contoh dan pengingat bagi kita agar sebesar apapun peran dan kontribusi yang pernah kita lakukan agar tidak menyebut-nyebutnya lagi untuk dijadikan sebagai alat bargaining untuk mempengaruhi keputusan pemimpin (syuro). 

Baginya bertemu dengan Rasulullah ﷺ dan menjadi pengikutnya meskipun berada pada sekian jarak dibelakang Rasulullah ﷺ sebuah keberuntungan dan kemuliaan yang tidak ada takarannya dengan dunia dan seluruh isinya apalagi sekedar sebagai "caleg" versi jaman itu yang notabene adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan dalam dua sisi, duniawi (dihadapan manusia) dan ukhrawi (dihadapan Allah SWT). Kelak amanah yang akan menjadi salah satu sumber penyesalan terbesar manusia di pengadilan akhirat nanti.  

Wallahu a'lam bish shawab.

Ditulis kembali dari sumber yg terpercaya

No comments:

Post a Comment