Ramadan, Wakaf dan Peradaban - Warta Global Banten

Mobile Menu

Top Ads

Serang

More News

logoblog

Ramadan, Wakaf dan Peradaban

Sunday, 10 March 2024
Warta Global Banten - Puasa Ramadan menjadi momentum merawat kemanusiaan. Di Jogjakarta, fenomena kemanusiaan di bulan Ramadan tak hanya tergambar dari kiprah individu sebagai muslim yang kontributif, tapi terbaca dari fenomena masjid yang bisa memakmurkan jamaahnya. Tak lain tak bukan, orang mengenalnya dengan Masjid Jogokariyan. Di media sosial, melalui ceramah-ceramah misalnya pendakwah Salim A Fillah atau takmir masjid M. Jazir, memperlihatkan betapa masjid itu begitu ramah terhadap jamaah. Apakah fakta demikian benar?

Saya pernah melakukan “riset” etnografi, berbicara dengan orang-orang yang tinggal di situ (in site) dan mengamati kebiasaan mereka. Etnografi sendiri adalah sebuah prosedur riset atau upaya intelektual untuk mengambarkan atau mengelaborasikan realitas dengan mengikuti kehidupan sehar-hari masyarakat dalam kurun waktu yang lama dengan melihat apa yang terjadi, mendengarkan apa yang dikatakan dan bertanya sampai menghasilkan sebuah “Cerita”. 

Memang tak bisa lama. Saya pernah tinggal sepuluh hari, menginap di Masjid Jogokariyan, dan hidup bersama penduduk (jamaah) di sana. Hasilnya, apa yang disampaikan Salim A. Fillah maupun M. Jazir itu terkonfirmasi. Saldo kas masjid yang sengaja dinolkan, ATM beras, wakaf sawah untuk menghidupi kebutuhan makan jamaah, modal usaha, pemberdayaan ekonomi jamaah, kupon untuk jajan di pasar Ramadan dll. Semua itu benar adanya. Untuk bisa sampai ke sana, tentu berangkat dari individu-individu yang memang terasah kepekaan sosialnya. Dan, puasa Ramadan adalah salah satu medan untuk mengasah etos kemanusiaan semacam itu.

Filsuf muslim Fazlur Rahman dalam buku “Major Themes of The Qur’an” mengklasifikasi delapan tema utama Al-Qur’an, yakni God, Man as Individual, Man in Society, Nature, Prophethood and Revelation, Eschatology, Satan and Evil, dan Emergence of The Muslim Community. Dalam tema “Man in Society”, ditekankan bahwa Islam sebagai agama dengan kepedulian sosial yang tinggi. 

Konsep-konsep menyangkut ketaqwaan, hanya berguna jika memiliki pengaruh pada konteks sosial. Bahkan setiap ritual dalam Islam menurutnya berimplikasi sosial, dan tanpa itu hanya akan bernilai sia-sia. Ibadah utama salat sekalipun, tanpa kepedulian sosial berubah nilainya menjadi sebuah kemunafikan. “In the absence of concern for the welfare of the poor, even prayers become hypocritical.

Kita kini bisa menengok ke dalam diri. Bersyukur, bagi yang telah diberikan keberlimpahan, kesuksesan dan keberkahan. Layaknya dalam kehidupan, capaian kita itu pasti hasil kontribusi banyak pihak, Entah itu tim kita, termasuk doa tulus hamba Allah SWT yang mungkin belum beruntung. Itu sebabnya, kita menjadi sadar betul. 

Ada hak mereka atas kesuksesan yang telah kita capai. Itu sebabnya, puasa ramadan punya dimensi kemanusiaan semacam itu. Puasa melatih kepekaan kita untuk mendengar bisikan mereka yang tak bersuara. Puasa melatih kita untuk mencoba merasakan kepedihan dan keperihan hidup siapa saja yang tak terungkap. 

Dalam perspektif bagaimana menjadi muslim profetik (berkenabian), Islam adalah agama sosial yan menempatkan kemanusiaan dalam posisi penting. Doktrin Islam secara jelas mengajarkan. Kita bisa lihat. Firman Allah SWT dalam Alquran menyebutkan “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah ayat 2). 

Kemudian hadis Rasulullah SAW menyebutkan: “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni). 

Kalau kita kaji sepintas saja, keduanya adalah pesan paling otoritatif, bagian dari sekian banyak pesan-pesan yang menekankan pentingnya kesalehan dan nilai-nilai sosial di mana kesemuanya mengafirmasi nilai fundamental humanisme-transedental Islam. Humanisme berperspektif ketuhanan yang sangat jauh berbeda dengan humanisme sekuler Barat. 

Masih terkait dengan ajaran demikian, tentu kita boleh menekankan bagaimana puasa ramadan juga adalah semacam “Madrasah Kemanusiaan”. Lewat spirit Islam, puasa ramadan mengajarkan kesolehan sosial. 

Sedekah dan zakat menjadi contoh konkrit dalam mengamalkan filantropi Islam. Begitulah puasa sebagai ajaran yang menganding filosofi atau hikmah yang begitu rasional (ma’qûl al-ma’nâ atau ta’aqqulî) untk kemanusiaan. Dengan demikian, dimensi kemanusiaan menjawab problematika keumatan secara signifikan.

Untuk tingkatan yang lebih tinggi. Menyoroti problem peradaban. Kita bisa simak lagi Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah adalah wakaf. 

Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya (budak) yang sedang berusaha menebus dirinya. 

Wakaf ini ditujukan kepada umum, dengan tidak membatasi penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum itu kini bisa berupa jaminan sosial, pendidikan atau kesehatan.

Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan memberikan harta untuk wakaf, manfaat dan hasilnya dapat terus berlipat tanpa henti. Dan bulan Ramadan, dengan puasa yang berdimensi kemanusiaan, kita bisa berkontribusi dalam filantropi Islam, sekaligus bisa berkontribusi lewat wakaf untuk membangun peradaban. 

Hasilnya, menjadikan umat sejahtera, mandiri dan punya kedaulatan. Inilah dimensi puasa ramadan yang begitu menantang untuk kita amalkan. []

Oleh: Yons Achmad
(Penulis. Pendiri Eduwakaf.com)

No comments:

Post a Comment