
Lahir di Serang, Banten, 25 Februari 2003, Khafid datang ke kampus dengan latar yang tidak ringan. Di awal masa kuliahnya, saat sesi perkenalan mahasiswa baru, ia dengan terbuka menceritakan pengalaman pribadi terkait gangguan psikologis yang pernah dialami. Keberanian ini mengundang perhatian Ririn Nur Abdiah Bahar, M.Psi., Psikolog, salah satu dosen psikologi yang dikenal dengan pendekatan humanistik dan empatiknya.
Pertemuan lanjutan pun terjadi. Dalam diskusi privat, Ibu Ririn mendengarkan keluh kesah Khafid dengan ketulusan. Ia bukan hanya menjadi dosen pengajar, melainkan hadir sebagai pembimbing psikologis. Lulusan Universitas Mercu Buana ini telah berpengalaman menangani beragam kasus psikologis, dan kini menjadi salah satu tokoh penting dalam proses pemulihan psikologis Khafid di lingkungan akademik.
Tak berselang lama, Khafid bertemu dengan Infanti Wisnu Wardani, M.Psi., Psikolog, sosok inspiratif yang membawa narasi perjuangan hidup ke ruang kelas. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia ini mengisahkan bagaimana ia menyelesaikan pendidikan pascasarjana sambil menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Cerita ini memberi kekuatan tersendiri bagi Khafid—bahwa tantangan hidup bisa disiasati dengan konsistensi dan semangat belajar.
Lebih dari itu, Ibu Infanti juga membuka ruang komunikasi untuk mendengar pergulatan psikologis yang dialami Khafid. Dari sana, hubungan pembelajaran berubah menjadi relasi pembimbingan yang suportif. Bahkan, karya musik ciptaan Khafid diputar dan dipromosikan langsung oleh beliau sebagai bentuk apresiasi terhadap kreativitas mahasiswa.
Figur lain yang memberi pengaruh mendalam adalah Dery Kurniawan, M.Psi., Psikolog, dosen muda dengan latar belakang akademik dari Universitas Andalas dan UIN Suska Riau. Ia dikenal sebagai penulis tajam yang gemar mendalami filsafat dan psikologi eksistensial. Dosen ini bukan hanya membimbing akademik Khafid, tetapi juga membantu mengasah nalar kritis dan kepekaan estetikanya dalam menulis. Salah satu komentarnya yang tajam—bahwa “tulisanmu itu adalah sampah emosi mentah”—tidak dimaknai sebagai hinaan, melainkan cambuk intelektual. Dan benar, dari sana Khafid menata kembali cara berpikir dan menghasilkan karya yang lebih reflektif dan terstruktur.
Dukungan ketiga dosen inilah yang menjadi energi utama bagi Khafid untuk berani melangkah ke ruang kompetisi. Ia sempat mewakili kampus dalam ajang lomba menulis tingkat internasional, meskipun belum berhasil melewati babak penyisihan. Namun, proses itu justru menguatkan mentalitasnya dalam menghadapi realitas akademik yang keras.
Tak berhenti pada pencapaian akademik, Khafid juga dikenal di lingkungan kampus melalui karya-karya kreatifnya. Ia merilis lagu bertema perjuangan diri, dan lebih jauh lagi, menerbitkan buku cetak perdananya berjudul Karma Seorang Playboy—sebuah refleksi psikologis dalam bentuk naratif populer yang menuai perhatian banyak pihak.
Hari ini, Raden Maulana Khafid bukan hanya mahasiswa psikologi biasa. Ia telah menjelma sebagai representasi dari pentingnya relasi dosen dan mahasiswa yang bersifat kolaboratif, suportif, dan manusiawi. Cerita Khafid membuktikan bahwa kampus bisa menjadi ruang pemulihan psikologis, tempat munculnya daya pulih, dan laboratorium aktualisasi diri—selama ada pembimbing yang tak hanya mengajar, tetapi juga hadir secara psikologis.
No comments:
Post a Comment