Gen Z dan Perempuan Jadi Pelopor Perjuangan: Yang Bisa Kita Pelajari dari Nepal - Warta Global Banten

Mobile Menu

Top Ads

Serang

More News

logoblog

Gen Z dan Perempuan Jadi Pelopor Perjuangan: Yang Bisa Kita Pelajari dari Nepal

Saturday, 20 September 2025
Demonstrasi Gen Z di Nepal tentang korupsi pejabat (Foto The Kathmandu Post)
Warta Global Banten | Kathmandu (20/09/2025) -Kemarahan yang terus menerus tak didengar, bisa merakit dirinya jadi bom waktu. Revolusi di Nepal jadi pelajaran berharga.

Kita menyadari pentingnya suara kita, hanya saat kita dibungkam.”

Sepenggal perkataan Malala Yousafzai, aktivis perempuan pemenang Nobel, mengingatkan kita pada situasi yang terjadi belakangan ini di Nepal. Bagaimana, suara generasi muda yang dibatasi ekspresinya, berubah menjadi bom waktu yang ‘meluluh-lantahkan’ pengekangnya. 

Aksi massa yang dipelopori generasi muda (Gen Z), dalam hitungan hari, mampu mendesakkan pergantian kepemimpinan. Itu terjadi, seiring dengan berbagai penderitaan rakyat di Nepal yang selama ini menjalar di kehidupan rakyat. Sementara, pimpinannya korup dan gemar pamer harta. 

Bagi kita yang di Indonesia, ini semestinya jadi pelajaran berharga sekaligus “peringatan keras” bagi pejabat yang semena-mena terhadap rakyatnya. Terlebih, apa yang terjadi di Nepal, juga banyak yang terjadi di Indonesia. Bagaimana rakyat dimiskinkan secara sistematis, dibatasi kebebasan dan ruang ekspresinya, sementara elit penguasa bebal dan nirempati pada nasib rakyat. 

Nepal mengajari kita bahwa generasi muda yang sering kali dilabeli apatis dan apolitis, justru menjadi penggerak yang berdampak terhadap revolusi negara. Mereka bersolidaritas dan mengorganisir diri lewat media sosial. 

Negara dengan julukan ‘Gunung di Atas Awan’ itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan itu bukan mitos. Perempuan punya kapabilitas, integritas, dan dapat dipercaya untuk menghadapi situasi krisis dan menahkodai misi pembangunan. Tak seperti stereotip gender yang selama ini dilanggengkan masyarakat patriarki, bahwa perempuan itu tak cakap berkiprah di ruang publik apalagi layak jadi pemimpin. 

Hal-hal apa saja yang bisa kita pelajari dari krisis yang memicu revolusi di Nepal, sebagai berikut: 

#PERTAMA, PEJABAT KORUP DAN NIREMPATI, SAMPAI REPRESI APARAT JADI PETAKA

Akhir-akhir ini, rakyat Nepal memang menghadapi situasi yang sulit. Mereka menghadapi gelombang pengangguran, lambatnya pembangunan, dan korupsi pejabat yang merajalela. 

Dalam Laporan terbarunya, Bank Dunia (World Bank) mengatakan bahwa 82% tenaga kerja di Nepal berada di sektor informal. Ini dikarenakan sulitnya mereka mendapatkan pekerjaan. Tiap tahun sebanyak 500 ribu usia produktif kerja (16-40 tahun) membutuhkan pekerjaan, tapi lapangan kerja minim. Di dalam negeri tak mendapat kesejahteraan, mereka yang hendak ke luar negeri juga tak dapat perlindungan layak. Ini memperburuk situasi ketenagakerjaan di Nepal. 

Dari segi tingginya korupsi pejabat di Nepal, Transparency International (2024) menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara negara paling korup di dunia. Sebagai informasi, Indonesia ternyata lebih parah dengan menempati urutan ke-99 negara terkorup di dunia. 

Di tengah situasi itu, rakyat Nepal juga dibikin kesal dengan gaya hidup elit pejabat dan keluarganya, yang kerap pamer harta. Mereka pamer menggunakan barang-barang bermerk mewah sampai liburan ke luar negeri. Itu menguatkan kesan nirempati terhadap rakyatnya yang bahkan harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup dengan pekerjaan layak. Banyak perempuan di Nepal yang menghadapi kemiskinan hingga stunting pada anak-anak.

Kekecewaan yang menumpuk, kian menjadi saat pemerintah Nepal menerapkan kebijakan yang merusak semangat demokratis. Ini tampak pada pembatasan media sosial yang merenggut hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang daring. Paling terasa di kalangan muda sebagai digital native di Nepal. 

4 September 2025, jadi pemantik letupan kemarahan rakyat. Pemerintah Nepal memblokir sebanyak 26 platform media sosial. Mulai dari Facebook, Instagram, YouTube, X (Twitter), dan LinkedIn. Alasannya, perusahaan-perusahaan itu dianggap gagal memenuhi tenggat pendaftaran yang diatur dalam regulasi Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.

Kurang dari sepekan, gelombang protes besar-besaran yang dipimpin generasi muda, Gen Z, pun kian tak terbendung. Mereka turun ke jalan menuntut kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital. 

Pada 8 September 2025, protes itu dimulai dari kawasan Maitighfar Mandala dan lanjut ke Kompleks Parlemen di Kathmandu. Massa sebagian besar adalah pelajar dan mahasiswa bawa bendera nasional dan slogan. 

Sebagaimana ‘aksi protes’ di Indonesia yang ramai sejak Agustus 2025, mereka banyak yang juga mengibarkan bendera Jolly Roger milik kru Luffy One Piece. “Aksi protes generasi Z/Gen Z” begitulah mereka menyebutnya.

Gen Z yang jadi pelopor ini juga menggaungkan gerakan daring ‘Nepo kids’. Mereka menyoroti anak dari kalangan elit Nepal yang dinilai dapat privilege karena koneksi keluarga hingga doyan pamer harta di media sosial. 

Aksi massa pada hari itu, menimbulkan korban jiwa. Polisi yang brutal membubarkan demonstran dengan gas air mata, meriam air, pentungan, dan peluru karet menewaskan 19 orang korban jiwa dan sekitar 400 orang terluka. Dilansir Himalayan Times, Menteri Dalam Negeri Nepal Ramesh Lekhak menyatakan mengundurkan diri. Dia mengaku bertanggung jawab penuh atas tindakan kekerasan aparat dalam aksi unjuk rasa itu. 

Pada 8-9 September 2025, sederet menteri lainnya kemudian menyusul pengunduran diri. Ada Menteri pertanian Ramnath Adhikari, Menteri Pemuda Olahraga Teju Lal Chaudhary, hingga Menteri Sumber Daya Air Pradeep Yadav turut mundur. Hingga akhirnya, Presiden Nepal Ram Chandra Poudel turut mundur dan tinggalkan Nepal tanpa kepemimpinan. 

Tentara Nepal kemudian mengambil alih untuk penanganan situasi keamanan di tengah ketiadaan kepemimpinan politik. Bandara internasional Thibhuvan/TIA di Kathmandu terpaksa ditutup imbas demonstrasi. Sejumlah menteri dan keluarganya dievakuasi dengan helikopter dari Kathmandu. 

Tak berselang lama dari itu, Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli/KP Sharma Oli mengundurkan diri. Bersamaan itu, situasi massa semakin memanas dengan membakar gedung Parlemen, kantor pemerintahan dan rumah para politisi. 

Pada 10 September 2025, banyak beredar video di media sosial yang menunjukkan Menteri Keuangan Bishnu Prasada Paudel dipermalukan massa dengan ditelanjangi dan dikejar hingga turun ke sungai. 

Ini tentu menunjukkan kepada kita bahwa, jangan pernah sepelakan rakyat yang marah. Rakyat yang selama ini disengsarakan dan dibungkam bisa menunjukkan betapa besar “suaranya”. 

#KEDUA, GENERASI MUDA JADU PELOPOR YANG BERDAMPAK

Jangan pernah mengerdilkan generasi muda (termasuk Gen Z) sebagai orang yang apolitis, bahkan lembek. Di Nepal, kita bisa melihat betapa peran anak muda itu adalah penting. Dia subjek yang mempelopori revolusi yang mampu menggulingkan kepemimpinan yang korup. Salah seorang bernama Abiskar Raut misalnya, pelajar SMA yang pidato berapi-apinya sempat viral di media sosial, menyulut semangat perjuangan para generasi muda di Nepal. Dalam program tahunan di sekolahnya sekitar Maret lalu, Abiskar menyampaikan pidato menggugah yang menyuarakan keprihatinan tentang situasi politik dan ekonomi di Nepal. Ketua Siswa Holly Bell School itu bersuara tentang belenggu pengangguran di tengah elit partai politik dan pejabat yang egois. 

Nepal, ibu kami, negara yang melahirkan dan membesarkan kami—apa yang dimintanya sebagai balasan? Hanya kejujuran, kerja keras dan kontribusi kami. Tapi apa yang kami lakukan?“ tanya Abiskar pada video yang beredar di media sosial.  

Kita terbelenggu oleh rantai pengangguran.. terjebak dalam permainan partai politik yang egois. Korupsi telah menjalin jaring yang memadamkan cahaya masa depan kita,” lanjutnya. 

Dengan media sosial pula, generasi muda Nepal saling terhubung, berdiskusi, bahkan menentukan masa depan bangsa. Tidak hanya memotori aksi massa yang menuntut penghentian pembatasan media sosial dengan turun ke jalan, membawa poster kreatif dan slogan perlawanan, kampanye medsos ‘Nepo Kids’, sampai uniknya mereka juga menggunakan aplikasi Discord untuk membahas pencalonan dan penunjukan Perdana Menteri perempuan pertama di Nepal. 

Dua dekade lalu, ini mengingatkan kita pada Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia. Bagaimana kalangan muda termasuk pelajar dan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, Soeharto. Situasinya hampir sama, kemarahan pada perilaku elit, tuntutan perubahan sistem politik, sosial, ekonomi, yang digerakkan generasi muda. Bedanya dengan Nepal, menyesuaikan dengan zaman sekarang dimana generasi muda yang hidup di era media sosial. 

Ini teguran untuk para elit Indonesia pula, jangan sepelekan generasi muda yang hak-haknya diabaikan. Seperti kesempatan kerja yang layak, keadilan sosial dan hak asasi manusia (HAM) yang dilanggar, bisa memantik kemarahan. Ini sebetulnya sudah tampak pada situasi beberapa waktu ini, ketika pemerintah apatis terhadap generasi muda yang muak dengan situasi di Indonesia dengan munculnya tren tagar Kabur Aja Dulu, pengibaran bendera Jolly Roger, sampai demo di berbagai kota menyerukan Indonesia Gelap dan brutalitas aparat yang membunuh pengemudi ojek online dengan kendaraan taktis (rantis), Affan Kurniawan. 

Sampai saat ini, generasi muda Indonesia juga masih terus menuntut pemerintah. Kemarahan-kemarahan yang terus dipupuk setiap saat dengan nirempati pejabat, bisa jadi bom waktu yang siap meledak. 

#KETIGA, KEPEMIMPINAN DI NEPAL

Sushila Karki (73), Mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, kini resmi menjadi Perdana Menteri di Nepal. Ia menjadi perempuan Perdana Menteri pertama di Nepal yang jadi pilihan utama demonstran yang dimotori Gen Z. Mereka menyebut Karki Badass (keren banget). Dia pernah dipenjara karena melawan monarki. Ia pun pernah dimakzulkan karena anti korupsi. 

Dilansir dari NDTV, Karki memulai dunia peradilan sejak tahun 2009. Dia saat itu diangkat sebagai hakim sementara di Mahkamah Agung Nepal hingga setahun kemudian dikukuhkan sebagai hakim tetap. Tujuh tahun setelahnya, dia naik ke posisi tertinggi sebagai Ketua MA. Selama masa jabatannya sebagai kepala hakim, Ia memimpin berbagai kasus penting termasuk kasus korupsi Menteri Informasi dan Komunikasi, Jay Prakash Prasad Gupta. 

Perempuan yang meraih Master Ilmu Politik dari Banaras Hindu University (BHU) India itu, terkenal dengan integritasnya dalam pemberantasan korupsi. Tak elak, pada tahun 2017, anggota parlemen dari Kongres Nepal yang saat itu berkuasa mengajukan mosi pemakzulan terhadapnya atas tuduhan bias dalam putusan yang mendiskualifikasi kepala pengawas antikorupsi. Imbas mosi itu, jabatannya langsung ditangguhkan. Hingga pada Juni 2017, mosi pemakzulan itu akhirnya ditarik setelah MA turun tangan. 

Karki memimpin pemerintahan transisi selama enam bulan sekaligus mempersiapkan pemilu ulang yang direncanakan digelar pada Maret 2026. Penunjukkannya sebagai Perdana Menteri, menjadi penanda akhir dari kekosongan pemerintahan di Nepal setelah PM Sharma Oli mengundurkan diri dan parlemen dibubarkan. 

Tidak akan tinggal lebih dari 6 bulan. Kami akan menyerahkan tanggung jawab kepada parlemen yang baru. Kami tidak akan berhasil tanpa dukungan Anda,” kata Karki dikutip Hindustan Times. 

Sesaat setelah pelantikannya, Karki menyambangi para demonstran yang menjadi korban. Dia menyampaikan bela sungkawa, memberi kompensasi dan menanggung biaya perawatan mereka. Karki juga meminta kementerian agar segera membangun kembali fasilitas publik yang hancur pasca demo. Misalnya, kompleks kantor Perdana Menteri, kementerian, Mahkamah Agung hingga gedung parlemen. 

Saat ini, Karki memikul tugas untuk membawa Nepal menuju stabilitas dan pembaruan demokrasi. Dia juga harus menjaga Nepal dari rongrongan kelompok pro-monarki atau kekuatan asing yang “memanfaatkan” kerentanan politik yang terjadi. Sembari Karki juga mewujudkan harapan Gen Z di tengah ketidakpastian ekonomi dan situasi Nepal yang korup.  

Mereka menuntut kesetaraan ekonomi, pemberantasan korupsi..” katanya lagi. 

The Conversation pernah menuliskan, budaya politik di Nepal yang selama ini didominasi oleh laki-laki berkasta tinggi yang punya pengaruh, dengan nepostime yang menjangkit. Karena itu pulalah, data menyebutkan minimnya generasi muda yang menggunakan hak pilih mereka. Di seantero negeri, tingkat partisipasi pemilu jatuh 10% yaitu dari 74% pada 2017 menjadi 64% pada 2022.

Minimnya partisipasi politik generasi muda di Nepal itu tidak lepas dari ketidakpercayaan mereka terhadap budaya politik yang ada. Mereka mempertanyakan bagaimana budaya politik di negaranya (konservatif dan maskulin) bisa relevan dengan berbagia kebutuhan mereka kini. Seperti persoalan kerentanan pasar kerja, teknologi yang mengglobal hingga relasi gender yang bergeser. 

Maka keterpilihan Karki yang berasal dari pilihan generasi muda Nepal, bisa jadi ‘harapan baru’ bagi rakyat. Paling tidak, mendobrak budaya politik maskulin yang selama ini bercokol di Nepal dengan kepemimpinan perempuan. Ia dipimpin karena kapasitas, kredibilitas, dan kepercaan rakyat untuk bisa membangun Nepal. 

Hal menarik saat demo berakhir, bukti kepedulian Gen Z Nepal terhadap bangsanya juga tampak saat mereka bergotong royong bersih-bersih jalan dan mengembalikan barang jarahan. Mereka memegang sapu, kantong sampah, hingga kuas cat untuk membersihkan ibu kota Nepal. 

Video yang beredar di media sosial memperlihatkan generasi muda Nepal tengah menyapu trotoar, mengumpulkan puing, memperbaiki ubin jalan yang rusak, hingga mengecat ulang tembok yang dicoret saat kerusuhan. Sebagian demonstran lainnya juga tampak mengembalikan barang-barang hasil penjarahan seperti kulkas, microwave, dan kipas angin. Hal itu menunjukkan tanggung jawab sipil sekaligus menegaskan bahwa gerakan mereka bukan hanya soal protes, melainkan juga membangun kembali.

Sementara itu, militer Nepal juga kembali ke barak begitu keadaan di Nepal terkendali. Militer Nepal memastikan tidak akan ikut campur urusan politik yang kini dikendalikan pemerintahan sementara Karki. Ini bisa jadi contoh bahwa militer semestinya bertugas menjaga keamanan dan fokus mengurus lembaganya sendiri. Bukan melemahkan supremasi sipil bahkan menduduki rangkap jabatan sipil yang strategis di pemerintahan.  

Kekuasaan militerisme yang mendominasi juga berbahaya bagi demokrasi dan perempuan. Kamus Feminisme Konde.co pernah membahas bahwa Militerisme dapat mengancam demokrasi dan kebebasan perempuan dalam beberapa cara yang signifikan. Pengaruh militerisme cenderung memperkuat struktur kekuasaan yang hierarkis dan otoriter, yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan gender.

Ideologi militerisme sudah sejak lama dikritik oleh para feminis, salah satunya Sylvia Walby. Sebagai seorang sosiolog feminis terkemuka, Walby menghubungkan militerisme dengan patriarki global dalam teorinya tentang “patriarki sebagai sistem.”

Dalam buku “Theorizing Patriarchy,” Walby berpendapat bahwa militerisme adalah salah satu alat utama yang digunakan oleh sistem patriarki untuk mempertahankan kekuasaan laki-laki dan kontrol sosial. Walby juga mengeksplorasi militerisme, dalam skala internasional, memperkuat ketidaksetaraan gender dan mengurangi ruang untuk demokrasi dan kesetaraan.

Selain Walby, Charlotte Bunch juga mengkritik keras militerisme dan dampaknya terhadap perempuan. Bunch adalah seorang feminis dan aktivis hak asasi manusia yang sangat vokal dalam kritiknya terhadap militerisme, khususnya dalam kaitannya dengan hak asasi perempuan. Bunch berpendapat bahwa militerisme memperkuat ketidakadilan struktural dan merugikan perempuan dengan meningkatkan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakamanan. 

Dalam pandangannya, perjuangan feminis untuk hak asasi manusia harus mencakup penentangan terhadap militerisme. Karena militerisme sering kali membatasi kebebasan dan memperburuk ketidaksetaraan.

Para feminis ini melihat militerisme tidak hanya sebagai isu militer atau keamanan, tetapi juga sebagai bagian dari sistem sosial-politik yang lebih luas yang memperkuat patriarki dan merusak hak-hak dan kebebasan perempuan. Mereka mendorong pendekatan yang menekankan pada perdamaian, keadilan sosial, dan kesetaraan gender sebagai alternatif terhadap kekerasan dan dominasi yang seringkali dilegitimasi oleh militerisme.

Feminisme juga mengkritik prioritas anggaran yang besar untuk militer. Pasalnya, penganggaran tersebut seringkali mengorbankan investasi dalam layanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Prioritas semacam ini lebih banyak menguntungkan elit politik dan militer, sementara perempuan dan anak-anak menjadi korban utama dari dampaknya.

Ketika pemerintahan mengedepankan kekuasaan militer di atas institusi sipil, hal itu melemahkan demokrasi. Sebab, terjadi pengurangan peran lembaga-lembaga sipil, seperti parlemen dan pengadilan. 

Dalam sistem demokrasi yang sehat, masyarakat sipil, termasuk perempuan, memiliki akses lebih besar untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, ketika militer menjadi kekuatan dominan, ruang bagi partisipasi politik yang inklusif menyempit. Ini membuat perempuan tersingkir dari proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks militeristik, suara-suara yang menentang, termasuk dari kelompok feminis atau aktivis perempuan, kerap dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara atau keamanan nasional. Hal ini bisa mengarah pada penindasan terhadap aktivisme perempuan. Termasuk pembungkaman kebebasan berekspresi dan penghilangan ruang demokratis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita melihat pola ini saat terjadi kriminalisasi terhadap sejumlah perempuan pembela HAM (PPHAM) di Indonesia seperti Fathia Maulidiyanti dan lainnya.

Nurul Nur Azizah
Redaktur Pelaksana Konde.co