
Aku menulis ini bukan untuk mencari iba.
Aku menulis karena aku lelah menyimpan semuanya sendirian.
Luka ini tidak datang tiba-tiba.
Ia tumbuh dari hari ke hari, dari orang ke orang—
dibully, dikhianati, ditinggalkan, dikecewakan,
hingga akhirnya mental ini dihancurkan oleh mereka yang paling dekat denganku.
Orang-orang yang seharusnya menjadi tempat paling aman,
justru menjadi sumber trauma paling dalam.
Dari situlah hidupku berubah.
Aku didiagnosis Skizofrenia Campuran.
Sudah delapan tahun aku hidup dengan diagnosis ini.
Delapan tahun mencoba bertahan dalam tubuh dan pikiran yang sering terasa bukan milikku lagi.
Mental ini jatuh.
Bukan jatuh biasa—
tapi jatuh sampai ke titik paling bawah,
sampai aku kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Setiap hari adalah perjuangan.
Pikiranku kusut, emosiku kosong,
bisikan-bisikan datang tanpa aku undang,
bayangan menghantui,
kesadaranku terasa menipis,
dan keinginan untuk mengakhiri hidup
sering muncul seperti pintu keluar yang tampak paling dekat.
Aku berusaha keras mempertahankan kewarasan ini.
Karena sejujurnya, aku takut kehilangan akal sehat.
Takut suatu hari aku benar-benar hilang,
tanpa bisa kembali mengenali diriku sendiri.
Rasanya seperti sedang melawan kegilaan
yang perlahan, sabar, tapi kejam—
menarikku masuk sedikit demi sedikit.
Aku pernah mencoba banyak cara untuk sembuh.
Aku berjuang, aku berharap, aku percaya.
Tapi di beberapa titik, justru di saat aku paling ingin pulih,
aku malah semakin terguncang.
Sekarang aku sering merasa sedih tanpa sebab.
Hampa.
Sulit fokus.
Ingatan mulai kabur.
Dan yang paling menyakitkan:
aku merasa seperti bukan diriku lagi.
Mental yang rusak bukan cuma soal kesedihan.
Ini tentang kehilangan kendali atas diri sendiri.
Aku tahu otakku tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Aku sadar—
tapi kesadaran itu tidak selalu memberiku kuasa.
Kadang aku melawan semuanya dalam diam.
Dan diam itu menyakitkan.
Karena orang lain hanya melihat aku “baik-baik saja”,
padahal di dalam kepalaku
sedang terjadi badai yang luar biasa hebat.
Aku bukan malas.
Aku bukan lemah.
Aku hanya kelelahan menghadapi diriku sendiri.
Aku capek berpura-pura kuat.
Aku iri pada orang-orang yang bisa berpikir jernih,
yang bisa menjalani hidup dengan tenang.
Mereka tidak tahu betapa berharganya
jiwa yang sehat.
Setiap minggu aku kontrol ke rumah sakit.
Setiap hari aku minum obat.
Bukan karena aku ingin bergantung,
tapi karena aku ingin pulih.
Aku hanya ingin terlihat seperti orang normal.
Aku lelah minum obat terus-menerus,
namun aku tetap melakukannya—
karena masih ada bagian kecil dari diriku
yang ingin hidup.
Tapi ada hari-hari ketika aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya.
Bukan karena aku tidak berusaha,
melainkan karena aku terlalu capek.
Aku hanya ingin dimengerti.
Tanpa dihakimi.
Karena berjuang melawan pikiran sendiri
jauh lebih berat
daripada yang orang bayangkan.
Di kampus, teman-temanku melihatku sebagai pribadi yang penuh energi.
Gelisah, tidak tenang—
dan mereka tahu aku sedang berjuang.
Mereka memaklumi.
Terima kasih,
Teman-teman Mahasiswa Psikologi Angkatan 2023.
Dosen-dosen Psikologiku pun menjadi support system terbesarku.
Mereka memahami penderitaanku,
mendukung kesehatanku,
dan memperlakukanku sebagai manusia—
bukan sekadar diagnosis.
Aku beruntung di sana.
Tapi aku tidak beruntung dalam hal kasih sayang orang tua.
Mereka tidak peduli pada kesehatan mentalku.
Tidak mengerti.
Tidak benar-benar hadir.
Aku tidak punya tempat bercerita.
Langkahku rapuh.
Dan kekecewaan di hatiku
sering kali terlalu dalam untuk ditampung sendiri.
Ironisnya, karierku berjalan.
Aku punya karya.
Namaku tertulis di media-media berita.
Aku punya banyak relasi,
orang-orang penting mengenalku.
Namun sekali lagi, aku tidak sempurna.
Kesehatan mentalku tidak sempurna.
Sejak kecil aku sudah membawa banyak luka,
dan sampai hari ini
luka itu belum sembuh.
Bisikan dan ketakutan selalu menghantuiku.
Kadang aku sangat kecewa pada Tuhan.
Di usia muda, mengapa aku harus hidup dengan sakit mental seperti ini?
Tuhan, aku pasrah.
Aku lelah.
Aku capek.
Aku ingin menyerah.
Kenapa Engkau memanggil orang-orang yang sayang padaku?
Kenapa Engkau menjauhkan yang dekat,
dan mendekatkanku dengan mereka
yang justru melukai mentalku?
Ini bukan latihan mental, Tuhan.
Ini seperti kematian perlahan.
Aku merasa mentalku mati sedikit demi sedikit.
Mungkin aku akan hidup selamanya
dengan skizofrenia, depresi, dan kecemasan.
Pertanyaannya hanya satu:
sampai sejauh mana aku kuat, Tuhan?
Aku pikir setiap hari akan semakin membaik.
Tapi kenyataannya,
mengontrol pikiranku semakin sulit.
Di balik kepribadianku yang sering dipandang buruk,
ada seseorang yang tahu
seberapa berat ia bertahan untuk tetap hidup.
Seberapa capek menerima dirinya sendiri.
Seberapa keras ia berjuang sendirian
untuk berdamai dengan hal-hal
yang tidak pernah ia minta.
Dan yang benar-benar tahu semua ini,
hanya psikiaterku
dan dosen-dosen psikologiku.
Jika suatu hari tulisan ini dibaca orang lain,
aku ingin mereka tahu satu hal:
aku tidak menyerah begitu saja.
Aku bertahan.
Meski takut.
Meski lelah.
Meski hampir kehilangan diri sendiri.
Dan jika Tuhan masih mendengarku—
tolong,
tunjukkan aku jalan.
Aku masih di sini.
Masih bernapas.
Masih mencoba.

