banten.wartaglobal.id | Serang - Matinya Kepakaran merupakan buku yang membahas mengenai hubungan antara pakar dan masyarakat, penyebab hancurnya kedua hubungan tersebut dan cara untuk mengatasinya dalam ruang lingkup demokrasi di Amerika.
Buku ini mempunyai alur mundur, dimana pokok awal bahasannya terletak di akhir bab. Buku ini penting untuk dibaca guna menghadapi era percepatan informasi. Sebagai salah satu bentuk kritik untuk kehidupan manusia di era modern yang mindsetnya kurang luas tetapi sudah merasa cukup pandai untuk tidak membutuhkan informasi dari ahlinya.
Matinya kepakaran bukan mengenai matinya keahlian pakar, akan tetapi matinya kepakaran disini membahas serangan terhadap pengetahuan yang sudah mapan dan dampak buruk penerimaan informasi sehingga orang awam bersikap merendahkan intelektual dan saran dari pakarnya. Ia merasa cukup puas dengan informasi yang didapatkan dari media tersebut untuk mengambil keputusan tanpa mau membuktikan kebenarannya dan belajar mencari tahu.
Tindakan tersebut seolah membuang ilmu pengetahuan, merusak praktik dan tidak mau mengembangkan ilmu pengetahuan baru. Bukan hanya penolakan terhadap pengetahuan yang sudah mapan akan tetapi penolakan terhadap sains dan rasionalitas tidak memihak yang merupakan dasar peradaban modern.
Sebutan pakar yang menurut orang awam adalah mereka sebagai pemberi penjelasan yang lebih tahu suatu hal dan dapat memberikan pencerahan permasalahan apa saja yang dicari solusinya. Untuk menjadi seorang pakar pun seseorang harus melalui tahapan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan keahliannya.
Namun kini melalui tahap pendidikan saja tidak dapat diandalkan, karena institusi pendidikan yang tinggi tidak lagi menjamin benarbenar “pendidikan tinggi”. Perguruan tinggi kini sudah diibaratkan seperti kegiatan jual beli. Tingginya ketersediaan pendidikan perguruan tinggi membuat banyak orang merasa lebih cerdas yang didapatkan dari gelarnya yang tidak jelas nilai kecakapannya.
Perguruan tinggi bukan lagi menjadi percetakan mahasiswa pemikir kritis namun malah sebagai pemenuh pelayanan mahasiswanya yang mengakibatkan kurangnya mutu lulusan. Perguruan tinggi era sekarang diibaratkan sebagai arena kompetisi, industrialisasi pendidikan dan terdapat malpraktik di bidang akademis. Sejarah panjang konflik pakar dihadapkan dengan faktor-faktor melemahnya kepakaran bahkan sampai kepada matinya kepakaran, diantara penyebabnya ada sebagian orang awam yang tidak mengakui dengan adanya pakar, menolak gagasan pakar dan merasa lebih tahu bahkan tidak mau menerima saran.
Seiring dengan beragam pencapaian manusia di bidang pengetahuan para profesional, pertentangan bertambah tajam. Bahasan selanjutnya mengenai konflik diantara pakar dan orang awam. Jarak antara pakar dan warga kian lebar sehingga terdapat jurang sosial dan ketidakpercayaan yang diawali dari demokrasi di Amerika.
Masalahnya bukan terletak pada ketidakpedulian terhadap pengetahuan yang mapan, tetapi permusuhan terhadap pengetahuan. Antara bertahan atau mungkin tidak bisa bertahan sama sekali dengan matinya kepakaran yang sesungguhnya dapat memutarbalikan pengumpulan pengetahuan yang telah lama diantara orang-orang yang kini berasumsi bahwa mereka tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya mereka tahu.
Orang awam sering tidak memiliki kemampuan “metakognisi” yaitu kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak, melihat apa yang sedang anda lakukan, lalu menyadari bahwa anda salah melakukannya. Akhirnya, mereka yang bukan pakar tidak menyadari kekurangan dan kesalahan berpikir yang telah mereka lakukan. Inilah yang seringkali menyebabkan perdebatan atau penolakan terhadap pakar tidak pernah berhenti Semua ini tidak terlepas dari masalah efek dari bias konfirmasi, yang cenderung hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah dipercayai, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan dan menolak data yang menentang sesuatu yang sudah diterima sebagai kebenaran. Bias konfirmasi ini dapat menyesatkan ahli yang paling berpengalaman sekalipun.
Agar dapat membedakan pernyataan mengenai kemungkinan berdasarkan fakta yang diamati yang bisa benar ataupun salah, dengan yang hanya suatu kesimpulan bukan prediksinya dengan memahami perbedaan generalisasi dan stereotip. Sesuai dengan percepatan era informasi dengan hadirnya internet, terdapat poin penting pengaruh internet terhadap pakar. Mesin pencari tersebut telah menghilangkan kebiasaan masyarakat. Mereka yang biasanya bertanya mengenai suatu hal yang dicari secara langsung kepada pakarnya, namun sekarang berubah.
Mereka lebih memilih mencari ke mesin pencari karena dirasa lebih efektif dan jawabannya mereka peroleh dalam hitungan detik. Kenapa mereka memilih jalan pintas untuk mendapatkan informasi yang lebih cepat?
Karena ketidakmampuannya memisahkan pengetahuan yang bermakna dari beberapa banyaknya pilihan. Hal ini menyebabkan informasi yang baik tertimbun oleh banyaknya informasi yang kurang baik. Selain itu menyebabkan perubahan sosial dengan memutus interaksi komunikasi antara pakar dengan masyarakat. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan internet tergantung kepada pemakai, karena internet hanya sebagai wadah bukan wasit, sehingga kita sendiri yang menentukannya. Internet dapat pula dikatakan sebagai anugerah luar biasa bagi mereka yang cerdas menggunakannya.
Mereka tahu cara mencari, memilah, dan menyaring apa yang mereka cari. Matinya kepakaran sesuai dengan fenomena kekalahan pakar yang disebabkan dari ketidakpercayaan institusional, bias kognitif yang terlalu tinggi dan ditambah dengan adanya akses internet yang terbuka lebar semua informasi dapat begitu tersebar luas dengan hitungan detik maka berita sekarang lebih cepat menyebar, parahnya banyak informasi yang tidak sesuai dengan fakta (hoaks) tersebar dan diterima oleh masyarakat.
Sehingga masyarakat dengan mudah mempercayainya, hampir menjadi konsumsi harian masyarakat yang mengakibatkan terjadinya konstruki tersendiri bagi pengonsumsinya karena cenderung sesuai dengan pandangan pengonsumsi tersebut. Oleh karena itu pakar kalah kompetisi dengan mesin pencari (internet).
Mereka seolah-olah telah mengetahui semuanya dan ketidakmampuan membedakan informasi dimana hanya membuat sinisme tersendiri dari orang-orang terhadap pengetahuan yang sudah mapan dan tetap meyakini bahwa solusi dari masalahnya dengan menggunakan internet. Semua orang dianggap setara dan sama, ditambah lagi dengan hadirnya media sosial, menambah kondisi yang berbahaya yang mengancam peran pengetahuan, kepakaran dan mengikis kemampuan untuk hidup rukun dalam demokrasi di era masyarakat modern. Keadaan tersebut menjadi semakin tidak sosial dan konfrontatif.
Posisi pakar dianggap tidak memahami era informasi, terlalu patuh aturan dan bersikeras dengan pengetahuan. Selain pendidikan dan internet yang mengancam kematian kepakaran, hadir industri jurnalistik seperti televisi, koran, maupun radio yang menghadirkan kompetisi antar satu dengan yang lainnya. Dimulai dari bahasan pertelevisian dengan banyak program yang menyulitkan masyarakat untuk memilah-milih berita yang diterima, yang menyebabkan penontonnya menciptakan ilusi tersendiri dan merasa cukup dengan infomasi tersebut. Radio mampu bertahan bahkan menyaingi televisi dan koran hingga adanya perlawanan terhadap media cetak dan elektronik yang dimulai dengan hadirnya televisi kabel dan internet, menghubungkan arena baru kombinasi berita yang merupakan masalah terbesar bagi pakar.
Hal tersebut merupakan sebuah tantangan bagi pakar untuk menghadapi zaman informasi, terkait jurnalisme modern. Namun. lebih banyak tidak berarti lebih berkualitas. Semua berita tergantung kepada jurnalis yang kompeten dan profesional mampu atau tidaknya menghadirkan berita yang berkualitas dan penikmat yang pandai menyaring informasi yang diperolehnya. Era informasi zaman percepatan tidak lagi mengutamakan kualitas, semua tergantung kepada editor dan produser yang lebih mementingkan finansial dibanding dengan berita yang benar-benar berkualitas. Bagi wartawan tidak ada ruang untuk mengembangkan kepakaran mereka atas subjek berita, begitu pun dengan pakar mereka seringkali dibatasi untuk mengeluarkan pendapatnya.
Ada hal yang harus dilakukan agar tercipta keseimbangan antar keduannya yakni beberapa saran yang dimuat, untuk pakar dan konsumen jurnalisme. Untuk pakar agar bertanggungjawab mengenali momen atau keadaan dan untuk konsumen jurnalisme agar lebih rendah hati, bervariasi, kurangi sinis dan lebih selektif.
Kepercayaan masyarakat terhadap pakar merupakan simbiosis mutualisme yang tidak bisa dipisahkan karena saling membutuhkan, akan tetapi bagaimana jika kepercayaan tersebut terkikis oleh kesalahan pakar ? apakah masyarakat dapat tetap mempercayainya?
Terdapat beberapa jenis kesalahan pakar yang dikategorikan dalam empat kategori :
1) kegagalan biasa contohnya berhasil atau tidaknya uji coba teori,
2) kegagalan mengkhawatirkan contohnya melebarkan keahlian dari satu bidang fokus ke bidang lainnya,
3) kegagalan prediksi, walaupun bertahan di bidang sendiri terkadang prediksinya dapat membahayakan dan yang paling berbahaya yaitu
4) penipuan dan penyimpangan ketika pakar memalsukan hasil pekerjaan mereka. Efek dari kesalahannya pakar sendiri menimbulkan efek yang beragam, dimulai rasa malu, terbuangnya waktu dan uang yang dapat menghambat perhitungan selanjutnya termasuk tertundanya seluruh proyek dan yang paling serius yaitu menimbulkan bahaya serius akibat kesalahannya.
Adapun konsekuensi dari kesalahannya yaitu dipecat dan penarikan jurnal yang diterbitkan. Para pakar memiliki cara dalam mengatasi kesalahannya, yaitu memperbaiki hubungannya dengan orang awam atau masyarakat, untuk pakar mengakui kesalahan, mengungkapkannya, terbuka dan menunjukan langkah memperbaikinya. Untuk orang awam atau masyarakat, berhati-hati dalam prediksi pakar, mengetahui bedanya kegagalan dengan penipuan secara lebih memahaminya. Bahasan akhir dalam ruang lingkup demokrasi, membahas hal yang berbahaya dalam matinya kepakaran yaitu cara merusak demokrasi meliputi pemimpin terpilih mengandalkan pakar, pengikis kepercayaan terhadap pakar, nasihat-nasihat pakar kepada pemimpin dan tanggung jawab pakar dalam demokrasi.
Banyaknya serangan yang ditunjukan kepada para pakar dari pemilihan umum Inggris hingga Amerika, akan tetapi sebagian pakar juga terdapat di dalam situasi tersebut. Tindakan itu merupakan bagian dari strategi yang bertujuan untuk memanfaatkan kebutaan politik dan mayoritas dari mereka yang menyerang pakar merupakan orang yang tidak percaya terhadap elite politik intelektual. Ketika hal itu terjadi, bagaimanapun secara tidak sadar pemimpin terpilih tidak dapat mengatasi semua hal dan mereka mengandalkan pakar dan profesional untuk membantu.
Pakar dan pemerintah saling bergantung dalam sebuah demokrasi, profesionalisme mendorong pakar untuk melakukan yang terbaik dalam melayani kliennya yakni masyarakat. Ketika pakar dituntut untuk melayani dengan baik, disanalah terdapat disfungsi demokrasi. Adapun dalam demokrasi pelayanan pakar kepada publik adalah bagian dari kontrak sosial, dimana membangun relasi keduanya atas dasar kepercayaan.
Tetapi jika kepercayaan itu hancur, maka dapat memicu pertikaian yang mengancam demokrasi itu sendiri. Terdapat hal-hal pemicu pengikis kepercayaan terhadap pakar yaitu keliru dalam membedakan identifikasi pakar dengan pembuat kebijakan, mereka tidak paham dan tidak memilih untuk paham. Warga negara mengira pakar kaya dan berkuasa, pada faktanya pakar jarang sekali kaya atau berkuasa.
Peran pakar hanya membantu memberi saran dikarenakan pimpinan pemerintah tidak dapat menguasai semua isu oleh karena itu mereka membutuhkan pakar. Yang perlu diketahui warga negara yaitu pakar bukanlah dalang. Tidak dapat mengendalikan pemimpin, pakar tidak dapat mengendalikan cara pemimpin menerapkan sarannya. Tidak ada pakar yang memandu kebijakan publik, pakar hanya menawarkan alternatif tidak dapat membuat pilihan. Akan tetapi yang disayangkan dari hal diatas ialah ketika pakar dituntut untuk terus menerus melayani pemerintah, mengalami disfungsi sebagai pakar yang tadinya untuk melayani kebutuhan publik menjadi melayani kebutuhan politik. Kerusakan kepercayaan antara pakar dan masyarakat hingga pemimpin terjadi di semua arah sebagaimana yang telah dipaparkan di bab sebelumnya.
Masyarakat dituntut untuk mengetahui permasalahan diantara pemimpin dan pakar agar tidak rusak dan ketidaktahuan tersebut menjadi senjata politik. Demokrasi yang stabil selalu bergantung kepada publik yang benar-benar paham dampak dari pilihannya. Inilah pentingnya mengetahui sebelum memilih pemimpin.
Dari fenomena tersebut, bagaimanapun pakar tidak dapat menghindar dari tanggung jawabnya sebagai pemberi saran, tetap mempunyai tanggung jawab kepada warga negara agar tidak terjadi permasalahan dalam hubungan antara pakar dengan publik. Halhal yang telah dibahas dari keresahan-keresahan pakar diatas pakar menyarankan agar masyarakat tidak boleh acuh dan diharapkan untuk berusaha belajar dari kesalahannya, mencoba mencari tahu agar hubungan antara pakar dengan publik terjalin dengan baik.
Terdapat saran untuk pakar agar selalu ingat bahwa pakar hanyalah pelayan bukan penentu, dan jika hal itu terjadi maka masyarakatlah yang melengkapi dengan terlibat dalam kebajikan sipil. Maka bagaimanapun keadaannya, keduanya saling membutuhkan, saling menerima dan saling bersinergi agar runtuhnya demokrasi tidak dapat terjadi. Setelah memaparkan isi buku
Matinya Kepakaran tentu terdapat kelebihan serta kekurangan yang ada didalamnya, adapun kelebihan yang terdapat pada buku ini ialah isi yang disampaikan membuka mindset terhadap kehidupan seputar matinya kepakaran di era modern, penuh saran dalam menghadapi informasi secara seimbang. Sedangkan kekurangannya, dikarenakan buku terjemahan maka bahasa yang dituangkan pun lebih sulit mencari isi pembahasan, dari segi bahasa yang digunakan pun tidak mudah untuk dipahami sehingga memerlukan pemikiran extra bagi pembacanya untuk menangkap arti setiap pembahasan, setiap bab bahasannya meyambung di bab selanjutnya sehingga dapat disimpulkan di akhir pembahasan dengan alur mundur.
Penulis: Rizkia Annisa Fitri
rizkiakiu@gmail.com
Sosiologi 2017.
No comments:
Post a Comment