Kegiatan dipandu oleh Muhammad Wildan sebagai moderator, dengan Ainurul Rihadul Ais sebagai pemateri utama. Turut terlibat dalam kegiatan ini sejumlah mahasiswa lainnya, yakni Sukma Dewi Alia Ningrum, Najma Andina, Raden Maulana Khafid, Ningrum Dwi Setya Febriani, dan Jundi Ilman Rahman yang aktif mendampingi diskusi kelompok serta simulasi materi bersama para peserta. Kegiatan berlangsung dalam suasana interaktif dan antusias, dengan pendekatan edukatif yang mudah dipahami serta diselingi dengan sesi tanya jawab, permainan, dan tebak-tebakan untuk mencairkan suasana.
Materi yang disampaikan mencakup definisi seksualitas secara luas, bukan hanya sebatas hubungan fisik, melainkan juga mencakup aspek biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Para santri diberikan pemahaman mengenai perubahan tubuh selama masa pubertas, emosi yang menyertainya, serta bagaimana membangun hubungan sosial dan komunikasi yang sehat. Selain itu, mahasiswa juga membahas isu-isu yang kerap dianggap tabu, seperti menstruasi, mimpi basah, orientasi seksual, masturbasi, serta pentingnya memahami consent atau persetujuan dalam setiap bentuk interaksi.
Tidak hanya fokus pada teori, mahasiswa juga mengajak para peserta mengenali bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan seksual, baik verbal, fisik, visual, maupun yang terjadi di ruang digital seperti media sosial dan aplikasi pesan singkat. Penjelasan mengenai hak-hak remaja terkait tubuh, rasa aman, dan keberanian untuk melapor jika mengalami kekerasan menjadi poin penting yang ditekankan dalam sesi tersebut. Para santri diajak untuk memahami bahwa setiap individu memiliki hak atas tubuhnya sendiri dan pentingnya membangun rasa hormat terhadap diri sendiri dan orang lain.
Menurut Ainurul Rihadul Ais, penting bagi remaja, termasuk para santri, mendapatkan edukasi seksual yang ilmiah dan berperspektif kesehatan mental sejak dini. Ia menekankan bahwa pendidikan seksual bukanlah hal yang tabu, melainkan bagian penting dari pembentukan karakter, perlindungan diri, dan kesiapan memasuki fase dewasa dengan pengetahuan yang benar.
Kegiatan ini menjadi salah satu bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat sekaligus upaya membuka ruang dialog yang sehat mengenai isu-isu yang kerap dianggap sensitif di lingkungan pendidikan, terutama di pesantren. Meski awalnya sempat terjadi keheningan karena topik yang jarang dibahas secara terbuka, suasana perlahan menjadi hidup setelah para santri merasa nyaman dan mulai terlibat aktif dalam diskusi.
Dengan mengusung metode partisipatif, psikoedukasi ini tidak hanya memberikan informasi tetapi juga menumbuhkan kesadaran, keberanian, dan rasa percaya diri bagi para santri untuk mengenal dan menjaga diri. Diharapkan kegiatan ini dapat menginspirasi lembaga pendidikan lainnya untuk lebih terbuka dalam memberikan edukasi seksual secara sehat dan terarah, tanpa stigma dan tanpa rasa malu.
Mahasiswa Psikologi Universitas Bina Bangsa berharap kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan secara berkelanjutan dan menjangkau lebih banyak sekolah atau pesantren. Mereka percaya bahwa menciptakan generasi yang sehat secara fisik dan mental harus dimulai dari keberanian menyuarakan hal-hal yang selama ini dianggap tabu namun sangat penting untuk diketahui.
No comments:
Post a Comment