
Sebuah Esai Geopolitik
Oleh: Madi Saputra
Warta Global Banten | Pada Jumat, 7 November 2025, Indonesia diguncang oleh tragedi di Masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saat azan Zuhur bergema dan para siswa menunaikan Shalat Jumat, ledakan tiba-tiba mengguncang ruang ibadah. Puluhan siswa terlempar, 54 orang luka—sebagian parah, sebagian ringan.
Awalnya, publik menduga ini hanyalah kecelakaan teknis: speaker masjid yang meledak karena korsleting. Namun hasil penyelidikan awal menunjukkan sesuatu yang lebih gelap: ada unsur kesengajaan, ada pesan tersembunyi.
Lebih mengejutkan lagi, insiden ini terjadi hanya empat jam sebelum pelantikan Komite Percepatan Reformasi Polri di Istana Merdeka—agenda nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Apakah ini kebetulan, ataukah sinyal politik yang dikirim dari “tangan-tangan tak terlihat” di balik layar kekuasaan?
Konteks Politik: Ledakan sebagai Simbol Resistensi
Tragedi SMAN 72 terjadi di momentum paling krusial bagi pemerintahan Prabowo–Gibran. Di hari yang sama, Prabowo melantik Komite Percepatan Reformasi Polri berdasarkan Keppres Nomor 122P/2025. Komite ini diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie, beranggotakan tokoh-tokoh seperti Mahfud MD, Otto Hasibuan, serta tiga mantan Kapolri—Tito Karnavian, Badrodin Haiti, dan Idham Azis.
Tugas mereka: menyusun peta jalan (roadmap) transformasi struktural dan kultural Polri, termasuk audit Densus 88 dan revisi kewenangan “shoot-to-kill”.
Prabowo, dalam arahannya, menegaskan,
“Ubah yang salah, meski menyakitkan. Hukum harus tegak tanpa pandang bulu.”
Namun, keberanian itu justru mengguncang fondasi lama. Banyak yang tak siap disentuh, apalagi diintervensi. Lembaga lama dengan jejaring lama tentu tak akan diam. Sejumlah pengamat, termasuk dari Institut Pemikiran Reformasi (IPR), menilai bahwa reformasi ini akan “mengusik kepentingan yang sudah mengakar selama dua dekade pasca 9/11” — terutama pada unit-unit antiteror yang selama ini bekerja dalam “bayang-bayang kemandirian absolut”.
Lalu datanglah ledakan di masjid sekolah yang berada dalam kompleks TNI AL, bertepatan dengan waktu shalat Jumat.
Sebuah momentum yang sangat simbolik — serangan terhadap tempat suci dan institusi negara sekaligus.
Lebih mengejutkan, polisi menemukan airsoft gun yang dimodifikasi, bertuliskan nama-nama seperti Brenton Tarrant (pelaku penembakan masjid Christchurch, 2019) dan Alexandre Bissonnette (penyerang masjid di Quebec, 2017).
Simbol-simbol itu bukan kebetulan. Ia menyimpan pesan provokatif: menghidupkan kembali narasi anti-Islam ekstrem, seolah-olah Indonesia pun sedang memasuki babak “perang ideologi”.
Apakah ini ulah seorang remaja korban bullying — atau sebuah sandiwara berdarah yang dikendalikan untuk mengirim sinyal politik ke Istana?
Analisis Intelijen: Mengurai Jaringan di Balik “Pesan”
Jika kita telusuri lebih dalam, pola waktu dan tempat ledakan ini bukan acak. Ia muncul tepat di hari pelantikan lembaga yang paling ditakuti oleh faksi-faksi lama di Polri — lembaga yang berpotensi membuka kembali “berkas-berkas hitam” operasi kontra-teror dan kasus pelanggaran HAM yang selama dua dekade terakhir diselimuti rahasia negara.
Dalam dunia intelijen, tidak ada kebetulan, hanya sinyal.
Prabowo bukan orang baru dalam urusan itu. Sebagai mantan komandan Gultor 81 Kopassus, ia paham bahwa teror selalu punya dua wajah: wajah yang terlihat publik — dan wajah yang disembunyikan di balik topeng agenda kekuasaan.
Skenarionya bisa dua arah:
1. Internal Resistance Scenario – Ledakan ini menjadi “peringatan dini” dari dalam tubuh Polri atau jaringan intelijen lama yang merasa terancam oleh reformasi Prabowo. Pesannya jelas: “Jangan bongkar terlalu dalam, atau situasi akan dibuat kacau.”
2. External Interference Scenario – Ada kemungkinan keterlibatan eksternal, baik dari jaringan intelijen asing yang kehilangan pengaruh dan pendanaan pasca perubahan global, terutama dari Barat. Indonesia — sebagai negara Muslim terbesar dan kini kian mandiri secara geopolitik — bisa menjadi target destabilisasi melalui operasi simbolik seperti ini.
3. Hybrid Operation Scenario – kombinasi dari dua arah: internal-eksternal, di mana “pihak dalam” menjadi alat atau jembatan bagi “pihak luar” untuk menyampaikan pesan politik yang tak bisa diucapkan secara resmi.
Dalam konteks ini, ledakan SMAN 72 dapat dibaca sebagai operasi peringatan — pesan bahwa reformasi institusi keamanan tidak akan berjalan tanpa gesekan berdarah.
Implikasi Politik dan Psikologis
Secara politik, tragedi ini mengguncang dua hal sekaligus: legitimasi Prabowo dan kepercayaan publik terhadap institusi keamanan.
Bagi sebagian masyarakat, muncul kecurigaan: apakah ini kegagalan intelijen negara dalam mendeteksi ancaman di lingkungan pendidikan?
Atau justru keberhasilan pihak-pihak tertentu untuk menunjukkan bahwa “tanpa mereka, negara ini bisa chaos”?
Media sosial pun memanas. Narasi “false flag operation” — operasi palsu untuk menuduh pihak tertentu — beredar cepat. Tagar-tagar seperti #SavePrabowo dan #ReformasiPolri saling bertabrakan dengan teori konspirasi bahwa “pemerintah sengaja menciptakan ketakutan untuk konsolidasi kekuasaan”.
Dampak psikologisnya jauh lebih dalam: publik mulai bertanya-tanya — siapa sebenarnya musuh yang tak terlihat itu?
Respons Prabowo: Antara Empati dan Strategi
Langkah cepat Presiden Prabowo — mengunjungi korban di rumah sakit dan mengalokasikan dana Rp5 miliar untuk pemulihan — menunjukkan insting politik yang tajam. Ia memindahkan narasi dari “teror politik” menjadi “tragedi kemanusiaan”.
Namun, langkah ini juga menjadi ujian kepemimpinan. Apakah ia akan menindaklanjuti dengan penyelidikan yang transparan, atau membiarkannya menguap seperti puluhan kasus misterius lain pasca-Reformasi?
Sejumlah pihak di DPR menuntut audit independen terhadap Densus 88 dan Polri, untuk memastikan tidak ada “pemain dalam” yang mengendalikan narasi publik.
Sebagian lainnya justru meminta agar Presiden berhati-hati: jangan sampai reformasi berubah menjadi perpecahan internal antara sipil dan militer.
Pesan Gelap dari Dalam Negara
Ledakan SMAN 72 bukan sekadar tragedi sekolah, melainkan cermin konflik laten di tubuh negara.
Sebuah pesan — mungkin peringatan, mungkin ancaman — yang ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto:
“Jangan ubah terlalu cepat, jangan sentuh terlalu dalam.”
Di tengah suara doa untuk para korban, bangsa ini dihadapkan pada pilihan besar:
Apakah kita akan mundur karena teror, atau melangkah lebih berani menegakkan kebenaran?
Bagi Prabowo, ini bukan sekadar ujian kepemimpinan, tapi ujian sejarah — apakah ia akan menjadi presiden yang berani menembus tembok lama kekuasaan, atau sekadar pelanjut sistem yang sudah lapuk?
Indonesia sedang menatap dirinya di cermin tragedi ini. Dan dalam pantulan itu, ada satu pesan yang bergetar di dasar nurani bangsa:
Kebenaran tidak akan menang jika kita takut menyingkap kebohongan.
Doa untuk para korban, dan doa bagi negeri ini—agar tidak gentar menghadapi bayang-bayangnya sendiri.
Semoga Prabowo membaca pesan ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai panggilan sejarah untuk membenahi bangsa hingga ke akar terdalamnya.
-------- M4D1 -------

