
Tanggerang, WartaGlobal.Id -Banjir bandang yang baru-baru ini menerjang Sumatera datang seperti tamu lama yang tak diundang. Kita kaget, pura-pura tak mengerti, lalu kembali mengelap air mata sambil bertanya kenapa semua ini bisa terjadi, padahal jawabannya sudah lama berbisik di antara batang-batang hutan yang hilang.
Lumpur yang menelan rumah, gelondongan kayu yang terseret arus, dan keluarga yang kehilangan segalanya membentuk pemandangan muram, tragedi ini hasil dari keputusan-keputusan dingin yang diambil jauh dari lokasi bencana. Ironisnya, setelah semua ini, publik masih dihibur dengan narasi “musibah alam”, seakan hujanlah yang bersalah, bukan tangan-tangan rakus yang lebih dulu melucuti tanah hingga tak punya kekuatan bertahan. Sumatera menangis, dan kita diminta percaya bahwa air mata itu turun begitu saja dari langit.
Di Sumatera, hutan gugur lebih cepat daripada kemampuan negara untuk memahaminya. Dalam satu dekade terakhir, pulau ini menjadi panggung besar dari proses pelucutan ekologi yang nyaris sistematis, sebuah proses yang bukan lagi sekadar akibat dari “pembangunan”, tetapi cermin dari tata kelola yang terdistorsi oleh kepentingan ekstraktif.
WALHI menyebut 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hilang sejak 2016. Ironisnya, hilangnya hutan ini justru bergerak terbalik arah dibanding retorika pemerintah tentang “pembangunan hijau”. Ketika deforestasi nasional sempat turun antara 2017 dan 2020, Sumatera tetap menyumbang hampir 40% kehilangan hutan Indonesia. Ini bukan hanya angka; ini adalah pengingat bahwa sebagian besar kehancuran terjadi di ekosistem paling rapuh: dataran rendah dan rawa gambut, tempat sektor sawit merayap seperti tinta tumpah yang menodai peta.
Kenyataan ini makin telanjang ketika melihat angka tahun 2024: Sumatera kehilangan 91.248 hektar hutan, hampir tiga kali lipat tahun sebelumnya. Provinsi-provinsi seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan memimpin parade kehancuran seakan perlombaan menghilangkan hutan sedang berlangsung. Bahkan tabel sederhana pun berbicara lantang: rerata provinsi utama terus mencatat kenaikan kehilangan tutupan hutan antara 2022 dan 2024.
Sumatera Selatan melesat dari 25 ribu hektar menjadi hampir 33 ribu. Riau naik drastis ke 10 ribu hektar. Pada akhirnya, Sumatera sendirian menyumbang 44% deforestasi netto nasional di 2024. Jika pulau ini adalah termometer, maka Indonesia sedang demam tinggi dan para pemilik konsesi sibuk meniup bara.
Aceh, misalnya, yang sering dibingkai sebagai benteng terakhir Leuser, tetap kehilangan hutan dalam angka yang absurd: lebih dari 10 ribu hektar pada 2024. Ironisnya, sebagian besar justru terjadi di luar kawasan konservasi, menunjukkan bahwa pembatasan administratif tidak berarti apa-apa ketika kepentingan ekonomi jauh lebih cair daripada garis batas hutan di peta.
Di Sumatera Utara, 8.100 hektar hilang hanya dalam satu tahun, menghantarkan 5,9 juta ton CO? ke atmosfer, sebuah harga yang tak pernah tercatat dalam neraca perusahaan. Jambi berulang kali menunjukkan tren sama: hilangnya hutan primer, ekspansi sawit, dan kesunyian birokrasi yang lebih memilih “menunggu arahan” daripada menegakkan hukum. Sementara itu, Riau dan Sumatera Selatan bermain di liga mereka sendiri, provinsi dengan salah satu laju pembukaan lahan paling agresif untuk sawit dan pertambangan.
Namun jantung masalah Sumatera bukan hanya deforestasi, tetapi struktur kekuasaan yang mengotorinya. Data konsesi memperlihatkan konsentrasi izin seperti cermin oligarki kehutanan yang telanjang: puluhan perusahaan, seringkali terkait dalam jejaring halus antara konglomerasi dan elite politik, menguasai jutaan hektar sekaligus.
Di Sumatera Selatan saja ada 1,34 juta hektar izin Hutan Tanaman Industri (HTI). PT Musi Hutan Persada memegang lebih dari 432 ribu hektar; beberapa perusahaan lain seperti PT Bumi Pratama Usaha Jaya dan PT Tunas Hutan Pratama bahkan gagal menjalankan kewajibannya menjaga hutan, tetapi tak pernah sungguh-sungguh kehilangan izin. Negara sering berlagak tegas, namun dalam praktiknya, regulasi jauh lebih lentur ketika menyentuh saku para pemain besar.
Inilah pola yang harus dibaca dengan jujur: Sumatera bukan sedang dihancurkan oleh angka deforestasi, melainkan oleh struktur ekonomi-politik yang memproduksi angka-angka itu. Ketika HTI, tambang, dan sawit dikendalikan oleh segelintir kelompok dengan afiliasi kuat ke pusat kekuasaan, hutan berubah menjadi komoditas murah dalam skema pertumbuhan yang cacat.
Maka tidak mengherankan ketika gugatan terhadap perusahaan besar seperti PT Bumi Mekar Hijau atau PT Sebangun Andalas Permai yang terkait kabut asap lebih sering menjadi headline sesaat ketimbang preseden hukum yang menggigit.
Dan apa yang terjadi di lapangan? Hasilnya adalah bencana ekologis yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
Banjir bandang yang membawa gelondongan kayu bukan “musibah alam”, tetapi potret dari tata ruang yang diperlakukan seperti draf revisi yang selalu bisa dihapus. Kita menyaksikan, banjir massif yang melanda beberapa wilayah Sumatera memperlihatkan tumpukan kayu ilegal yang terseret arus, bukti visual bahwa illegal logging berjalan mulus di balik embun pagi yang tipis.
Moratorium PHAT oleh pemerintah pasca peristiwa itu bukanlah keberanian, tetapi keharusan yang datang terlambat. Kebakaran hutan dan lahan pun terus memberikan kontribusi besar pada emisi khususnya di lahan gambut yang serupa bom waktu, melepaskan gas rumah kaca dalam volume besar ketika dipaksa menjadi lahan sawit.
Di tingkat sosial, konsekuensinya bahkan lebih pahit. Masyarakat adat dan lokal kehilangan sumber hidup, tanah, dan identitas mereka. Konflik agraria menjadi penyakit kronis: perusahaan sawit mengklaim wilayah adat, tambang menggusur lahan pertanian subsisten, pemerintah daerah mengaku “tidak tahu” karena dokumen seringkali lebih berdaulat daripada manusia. Ketika keuntungan deforestasi dinikmati oleh segelintir orang, biaya sosialnya dibayar oleh ribuan keluarga yang tidak pernah diundang ke meja perundingan.
Tidak berhenti di situ, keanekaragaman hayati Sumatera yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional ditukar dengan deretan pabrik biodiesel, gudang logistik, dan jalan tambang. Habitat harimau Sumatera dan gajah Sumatera retak menjadi kepingan-kepingan kecil yang nyaris tidak mampu menopang populasi yang tersisa. Fragmentasi ini berarti kepunahan bukan lagi kemungkinan, tetapi jadwal yang tinggal menunggu tanda tangan.
Bencana ekologi yang begitu kentara tidak cukup untuk menghentikan putaran kebijakan yang justru memperlonggar deforestasi. Target nasional deforestasi yang awalnya dibatasi 325 ribu hektar per tahun direvisi naik menjadi 359 ribu hektar dalam Updated NDC 2021. Dengan kata lain, negara bukan sedang menekan rem, melainkan menyesuaikan kecepatan agar terlihat normal. Ini bukan strategi mitigasi; ini strategi akuntansi emisi yang memalsukan urgensi krisis iklim.
Sementara itu, kebijakan pro-investasi tetap merajalela. Pemerintah terus memudahkan izin HGU dan tambang skala besar, seperti seorang manajer properti yang lebih peduli pada seberapa banyak ruang yang bisa disewakan daripada siapa yang akan tinggal dan apa yang akan rusak.
Penegakan hukum pun tidak lebih meyakinkan. Kasus Direktur PT BRN yang ditetapkan sebagai tersangka illegal logging dengan kerugian negara ratusan miliar adalah pengecualian yang semakin memperjelas aturan: hukum bergerak hanya ketika tekanan publik memuncaknya. Sementara itu, 15 konglomerat tetap menguasai lebih dari separuh hutan produksi Indonesia, sebuah proporsi yang membuat negara tampak seperti operator logistik bagi kepentingan privat.
Jika tren ini berlanjut, Sumatera akan memasuki fase baru kerentanan ekologi pada 2030-an. Rencana Kementerian Pertanian memperluas sawit 600 ribu hektar pada 2026 hanya akan mendorong deforestasi lebih jauh, terutama di daerah yang kini sudah kritis. Bencana ekologis akan semakin intens; banjir yang sebelumnya datang lima tahun sekali akan datang dua kali setahun.
Pola cuaca ekstrem akan memperparah erosi tanah dan memicu kekeringan lokal di beberapa wilayah yang dulunya lembab. Konflik sosial akan terus tumbuh, karena tanah yang tersisa akan makin sedikit dan nilai ekonomi tiap hektarnya makin tinggi dalam perebutan antar manusia maupun korporasi.
Pada akhirnya, Sumatera menjadi simbol dari dilema besar Indonesia: bagaimana sebuah negara dengan retorika hijau dapat tetap mempraktikkan ekonomi ekstraktif yang rakus di dalam negeri seraya membiarkan oligarki mengatur lanskap ekologisnya?
Jawaban jujurnya mungkin tidak menyenangkan: karena struktur kekuasaan kita dibangun untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut, bukan untuk menegakkan keberlanjutan.
Jika Indonesia ingin mengubah arah, Sumatera harus menjadi titik balik. Bukan sekadar melalui slogan “pembangunan berkelanjutan”, tetapi melalui reformasi menyeluruh: pembatasan ketat konsesi, audit independen atas HTI dan tambang, restitusi tanah adat, dan penegakan hukum yang tidak bisa dinegosiasikan. Selama oligarki masih mengatur hutan seperti lembar saham, dan pemerintah masih menafsirkannya sebagai “aset”, deforestasi akan terus menjadi takdir yang ditulis ulang setiap tahun.
Banjir bandang Sumatera telah memberi peringatan. Pertanyaannya sederhana: apakah negara bersedia mendengarnya atau menunggu pulau itu benar-benar kehabisan hutan sebelum bertindak?

